Kaesang Pangarep hanya melempar senyum saat ditanya mengenai suara partainya yang tidak lolos parlemen. Demikian dikatakan dalam berita bertajuk “Nestapa PSI: Ketumnya Anak Presiden, Baliho Menjamur, Tapi Tak Lolos DPR” lansiran salah satu portal berita terpopuler Indonesia (21/3/2024).
Sama seperti Mas Kaesang, saya pun tersenyum membacanya.
Apakah ini lucu, ataukah ironi, atau justru langkah hebat yang tertunda, ataukah sial belaka? Menggelitik sekali tajuk itu. Kenapa bawa-bawa baliho menjamur? Apa hubungan antara baliho, anak presiden, dan kenestapaan?
Kalimat lainnya, “PSI telah melakukan banyak perubahan untuk menarik para pemilih. Mulai dari pergantian ketua umumnya hingga pemasangan baliho yang masif di berbagai tempat.”
Rupanya begitu. Namun, itulah yang membuat saya tak habis pikir.
Baca juga → Menilik Sejarah Batik Terlarang, Tak Hanya di Pernikahan Kaesang
Jamur Baliho
Belum lama berselang, ketika hiruk pikuk kampanye masih puncak-puncaknya, saya masih sangat ingat betapa banyaknya baliho di sepanjang jalan yang saya lalui setiap hari.
Jangankan di jalan-jalan utama, di tembok-tembok pinggiran jalan kompleks dan jalan-jalan tikus pun penuh poster bergambar potret wajah para calon. Bahkan, di pohon-pohon pun tak ketinggalan.
Yang langsung bisa saya kenali hanya enam saja, yaitu para pasangan capres dan cawapres. Wajah-wajah lainnya tak saya kenal. Namun, setelah berhari-hari rutin melihat wajah-wajah asing tersebut, lama kelamaan hafal juga beberapa wajah – terutama yang cantik.
Baliho-baliho dan poster-poster yang tak terlihat estetis, maaf saja malah bikin semrawut. Yang teringat malah kesemrawutannya itu.
Beberapa jenis baliho bergambar pasangan tertentu, ada yang jumlahnya makin dahsyat di hari-hari terakhir masa kampanye.
Menjelang hari pemungutan suara, beberapa rekan sengaja menghafalkan beberapa wajah, untuk bersiap-siap mencoblos wajah itu nanti saat hari pencoblosan. Entah apa faktornya, saya tak tanya.
Rupanya mereka belum tahu bahwa tidak semua jenis surat suara mencantumkan foto calon. Hasilnya bisa ditebak, mereka akhirnya mencoblos nama random karena gagal menemukan foto yang sebelumnya sengaja dihafal, tapi lupa tak dihafalkan namanya.
Memasuki masa tenang beberapa saat sebelum hari pencoblosan, baliho-baliho dan poster-poster itu sebagian besar menghilang. Umurnya pendek sekali, persis seperti jamur di pekarangan.
Jalanan dan tembok-tembok menjadi bersih kembali, lebih segar. Entah bagaimana nasib baliho-baliho itu setelahnya. Dipakai lagi tak bisa, dijadikan bungkus gorengan pun tak mungkin.
Strategi Baru Popularitas Kosmetik
Baliho PSI yang menjamur di berbagai tempat disebut-sebut sebagai strategi baru partai tersebut dalam berkampanye, mengubah strategi yang diterapkan dalam pemilu sebelumnya. Tujuan yang diharapkan, agar popularitas naik dan mendapatkan banyak suara, cukup untuk lolos parlemen.
Sebetulnya, tak hanya PSI yang menggunakan baliho untuk kampanye. Bisa dibilang semua partai juga mempromosikan jagoan partainya menggunakan baliho dan poster. Media konvensional ini selalu dan sudah dipakai sejak zaman dahulu.
Dari dulu setiap kali pemilu, jalanan penuh baliho dan poster. Jadi, bukan barang baru.
Katanya PSI adalah partai anak muda. Namun, yang bikin heran adalah pilihan media kampanyenya yang masih sangat mengandalkan media tua, konvensional, alias jadul.
Apakah betul generasi muda jaman now masih terpesona dengan baliho, memilih hanya karena popularitas kosmetik saja, bukan karena faktor-faktor yang lebih kritis?
Generasi Digital
Melihat data DPT Pemilu 2024 yang ditetapkan oleh KPU, jumlah pemilih generasi muda mencapai hampir 60 persen, gabungan generasi Z (22,85 persen) dan generasi milenial (33,6 persen). Jadi, memperhatikan data itu, seyogianya semua partai pun menyasar anak muda.
Saya perlu menyandingkan fenomena baliho tersebut dengan data yang dipaparkan oleh Dewi Isma Aryani, M.Ds., dosen desain komunikasi visual FSRD Maranatha. Dalam tulisannya berjudul “Baliho Kampanye Politik, Masih Relevan?” (majalah M! Vol. 7 No. 1), ia mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Asmarantika dkk. dari Universitas Multimedia Nusantara.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2022 itu mengungkap pola konsumsi informasi generasi Z yang telah beralih dari media konvensional ke media digital. Dari total 1.177 responden berusia 15-25 tahun di seluruh pelosok Indonesia, lebih dari 75 persen menyatakan jarang atau tidak pernah mengonsumsi informasi dari media konvensional, termasuk koran, tabloid, juga majalah. Sebaliknya, konsumsi informasi melalui media digital mencapai 95 persen.
Produk Gagal
Lebih tajam lagi, Dewi Isma menuliskan bahwa baliho kampanye politik adalah produk desain grafis yang gagal. Ia merujuk Widagdo (2008) yang menyebutkan bahwa desain yang baik akan selalu memperhatikan nilai estetika dari lingkungan tempat karya desain itu berada.
Kegagalan baliho kampanye sebagai produk desain grafis menurut konsep tersebut disebabkan karena mayoritas baliho itu dipasang di sembarang tempat, tanpa memperhatikan estetika lingkungannya. Keberadaannya malah membuat kesan kumuh.
Alih-alih menyebut gagal, banyak juga yang menganggap baliho kampanye sebagai produk desain yang tidak kreatif.
Hal ini bisa kita lihat dari hasil polling yang diadakan oleh kumparan pada periode 17-31 Juli 2023. Lebih dari 88 persen, yakni 2.460 responden dari total 2.778 responden menilai wajah caleg yang bertebaran di baliho itu tidak kreatif.
Lebih Canggih Strategi Selebritas
Menjawab pertanyaan apakah baliho masih relevan dan masih manjur, kita juga melihat fenomena menarik lainnya, yaitu keberhasilan beberapa caleg maju ke Senayan tanpa baliho. Betapa kontradiktif!
Kubu yang satu jorjoran baliho sana-sini. Bayangkan berapa besar dana untuk membuat dan memasang baliho semasif itu!
Kubu yang satu lagi justru tanpa baliho sama sekali. Bahkan, banyak pemilih yang baru tahu kalau mereka nyaleg saat di bilik suara. Luar biasa!
Mereka adalah kubu para selebritas.
Hebatnya, mereka berhasil lolos ke Senayan. Fenomena ini juga membuat saya tak habis pikir.
Sekali lagi, apakah masyarakat saat ini memilih hanya karena popularitas kulit luar saja, bukan karena faktor-faktor fundamental yang lebih kritis? Memilih hanya karena merasa kenal?
Ada-ada saja strategi-strategi baru ini. Apa lagi yang akan kita lihat berikutnya, demi menaklukkan jalan terjal menuju Senayan?
(Ditulis oleh Iwan Santosa)
Referensi: 1) “Nestapa PSI: Ketumnya Anak Presiden, Baliho Menjamur, Tapi Tak Lolos DPR” ; 2) “Polling kumparan: 88,55% Pembaca Nilai Baliho Caleg Tidak Kreatif”
ilustrasi foto atas: dok. Iwan Santosa