Siapa tak kenal Trio Macan, grup penyanyi dangdut terkenal yang sudah berganti anggota beberapa generasi. Namun, tak ada satu pun pedangdut yang menjadi anggota “Trio Macan” yang akan dibahas berikut ini. Mereka lebih suka membuat posting bernada negatif di media sosial.
Kasus ini bukanlah kasus baru, sempat menjadi perhatian publik pada tahun 2014 hingga 2015-an. Bahkan saat kasus ini memuncak, UU ITE belum direvisi. Kasus ini akan dibahas sebagai referensi pembelajaran, agar kita lebih memahami rambu-rambu dalam bermain medsos.
- Posting Negatif
- Penyidikan dan Persidangan
- Kasus Cyber Crime
- Dakwaan Berdasarkan UU ITE
- Dakwaan Berdasarkan KUHP dan UU TPPU
- Peran Forensik Digital
- Kesimpulan
Posting Negatif
Pembahasan kasus ini kita mulai dengan kejadian penangkapan Raden Nuh beserta dua orang rekannya yaitu Edi Syahputra dan Harry Koes Hardjono. Mereka ditangkap secara terpisah oleh aparat Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada rentang waktu antara Oktober sampai November 2014.
Ketiganya ditangkap atas dugaan pemerasan terhadap petinggi PT Telkom, memanfaatkan platform media sosial Twitter dengan nama akun @TrioMacan2000. Akun Twitter tersebut juga sudah pernah dilaporkan ke polisi oleh beberapa pihak lainnya, termasuk perorangan, pejabat publik, hingga perusahaan.
Dalam proses penyidikan, Raden Nuh akhirnya mengaku sebagai pembuat akun tersebut. Kasus ini berkembang dan terkait dengan beberapa tindakan kejahatan lainnya, termasuk pemerasan kepada petinggi PT Tower Bersama Group, perusahaan rekanan PT Telkom.
Akun @TrioMacan2000 sering membuat posting bernada negatif dan menyasar pihak-pihak tertentu. Tindakan mereka berlanjut dengan fitnah dan pemerasan yang menyasar para korban. Mereka menuntut sejumlah uang kepada para korban, dengan janji akan menghapus posting-posting negatif yang merugikan para korban.
Dalam menjalankan aksinya, mereka juga memanfaatkan jejaring media online (antara lain website www.triomacan2000.net dan situs berita asatunews.com) dan akun-akun media sosial lainnya yang saling dikaitkan.
Penyidikan dan Persidangan
Proses penyidikan oleh Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus dilakukan melibatkan forensik digital, untuk mendapatkan bukti-bukti kejahatan yang telah dilakukan.
Para penyidik melakukan pemeriksaan atas barang-barang bukti yang disita berupa perangkat komputer, laptop, dan ponsel, untuk melacak fakta dan bukti dari berkas-berkas elektronik, data rekam ketik, dan penelusuran keterkaitan media-media online. Melalui proses penyelidikan forensik digital, dapat diungkap adanya tersangka atau fakta baru yang terkait dengan kejahatan tersebut.
Persidangan perdana terhadap ketiga terdakwa dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 23 Maret 2015.
Jaksa penuntut umum mendakwa ketiganya dengan pasal berlapis dalam tiga Undang-Undang (UU), yaitu:
- UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE);
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
- UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Baca juga → Menilik Sejarah Batik Terlarang
Kasus Cyber Crime
Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh ketiga pelaku adalah tindakan yang cukup kompleks, seluruh rangkaian tindakan telah dipikirkan dengan panjang.
Para pelaku memanfaatkan platform digital yaitu media sosial Twitter, dengan membuat posting yang secara khusus diarahkan menyebarkan berita negatif dan fitnah yang menyasar pihak-pihak tertentu. Mereka tidak hanya menggunakan satu akun media sosial saja, tetapi berjejaring dengan akun-akun lainnya, bahkan juga melibatkan beberapa situs media online lainnya.
Motif di balik penyebaran berita negatif itu adalah pemerasan. Para pelaku sengaja menyebarkan berita negatif sebagai umpan untuk meminta sejumlah uang kepada para korban, sebagai biaya untuk menghentikan/menghapus posting-posting negatif tersebut.
Dari skenario ini dapat diuraikan setidaknya ada dua kejahatan utama yang telah dilakukan, yaitu: 1) menyebarkan informasi negatif yang mengandung pencemaran nama baik, dan 2) melakukan pemerasan dengan pengancaman.
Dakwaan Berdasarkan UU ITE
Undang-undang ITE yang digunakan dalam kasus ini merujuk pada UU 11/2008, yang pada saat kasus ini berjalan (persidangan pada tahun 2015) belum direvisi.
Tindakan pencemaran nama baik dalam UU 11/2008 (UU ITE) diatur dalam dua pasal, yaitu Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, dan Pasal 45 ayat (1) yang berisi ketentuan pidana atas perbuatan tersebut.
Sedangkan tindakan pemerasan dan pengancaman dalam UU ITE diatur dalam tiga pasal, yaitu:
- Pasal 27 ayat (4), “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”;
- Pasal 29, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”;
- Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), berisi ketentuan pidana atas perbuatan yang dimaksud pada kedua pasal tersebut.
Para pelaku didakwa berdasarkan UU ITE Pasal 29 jo. Pasal 45 dikarenakan terbukti melakukan tindakan pemerasan dengan cara mengirimkan informasi elektronik yang berisi ancaman atau menakut-nakuti dengan penyebarluasan konten pencemaran nama baik.
Dakwaan Berdasarkan KUHP dan UU TPPU
Selain UU ITE, para pelaku juga didakwa berdasarkan tiga pasal KUHP atas tindakan ancaman pencemaran nama baik dan penipuan, yaitu Pasal 369 Ayat (1), Pasal 378, dan Pasal 55 Ayat (1). Ketiga pasal tersebut secara umum mengatur mengenai perbuatan melawan hukum berupa ancaman pencemaran nama baik, penipuan, dan mengenai pelaku tindakan kejahatan.
Para pelaku didakwa pasal penipuan, karena adanya tindakan menipu korban, yaitu menjanjikan penghapusan konten negatif setelah menerima pembayaran sejumlah uang, tetapi nyatanya konten tersebut tidak dihapus dan para pelaku malah meminta tambahan pembayaran kepada korban.
Pasal berikutnya yang juga didakwakan kepada para pelaku adalah Pasal 3 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Mereka didakwa atas tindakan menerima sejumlah uang dalam mata uang asing (USD), mengubahnya menjadi mata uang rupiah, dan kemudian mendistribusikannya.
Peran Forensik Digital
Forensik digital menurut Muhammad Nuh Al-Azhar adalah penggunaan teknik analisis dan investigasi untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, memeriksa, dan menyimpan bukti atau informasi yang secara tersimpan dan disandikan pada komputer atau media penyimpan digital.
Dalam kasus Raden Nuh c.s., forensik digital dilakukan oleh Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, untuk menyelidiki dan menemukan bukti yang berkaitan dengan perangkat teknologi berupa komputer, laptop, ponsel, juga data yang terkandung dalam media sosial dan media online lainnya.
Penyelidikan oleh tim forensik digital sangat penting dalam kasus ini, karena bukti-bukti utama tersimpan dalam perangkat teknologi (selain bukti-bukti fisik misalnya uang tunai hasil pemerasan, dan perangkat fisik berupa wujud barang komputer, laptop, dan ponsel).
Tanpa bukti-bukti informasi maya yang dihasilkan dari proses forensik digital, kasus tersebut akan lemah dan sulit untuk membuktikan tindakan kejahatan yang telah terjadi.
Baca juga → Hati-Hati Nama Domain, Belajar dari Kasus Cybersquatting BMW
Kesimpulan
Cyber crime yang dilakukan oleh Raden Nuh c.s. bila dijabarkan terdiri dari tindakan penyebaran fitnah dan pencemaran nama baik; tindakan pemerasan untuk mencari keuntungan pribadi; tindakan pengancaman terhadap korban; tindakan penipuan; dan tindakan pencucian uang.
Para pelaku memanfaatkan sarana siber dalam melaksanakan kejahatan, yaitu berupa media sosial dan media online lainnya. Atas kejahatan-kejahatan tersebut, para pelaku didakwa pasal berlapis dari tiga Undang-Undang, yaitu UU ITE, KUHP, dan UU TPPU.
UU ITE yang digunakan dalam persidangan kasus ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang saat itu belum diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
Melalui analisis terhadap dakwaan tersebut dengan membandingkannya dengan pasal-pasal pada ketiga Undang-Undang, juga dengan memahami kronologi, modus, dan motif para pelaku, dapat disimpulkan bahwa UU ITE, KUHP, dan UU TPPU cukup efektif untuk menegakkan cyber law dan menangani para pelaku kejahatan pada kasus yang dibahas.
Keefektifan ketiga UU tersebut juga perlu disertai dengan pelaksanaan penyidikan dan forensik digital yang memadai. Sebab, tanpa adanya proses forensik digital yang memadai, akan sulit membuktikan kejahatan yang telah dilakukan, dan dapat melemahkan penegakan cyber law.
(Ditulis oleh Iwan Santosa)
Referensi: 1) “Auman @TrioMacan2000 yang Berakhir Bui pada 2015 Lalu”; 2) “Syarifuddin Hasan Laporkan @TrioMacan2000”; 3) “Mereka yang Pernah Melaporkan Akun Triomacan2000 ke Polisi”; 4) “Admin @TrioMacan2000 Bongkar Jati Dirinya”; 5) “Penyidik periksa maraton tersangka kasus TrioMacan2000”; 6) “Polisi: Digital Forensik, Kunci Pembuktian Kasus TrioMacan2000”; 7) “Admin @TrioMacan2000 Didakwa Pasal Berlapis”; 8) “Lima Dakwaan Jerat Pemilik Akun @TrioMacan2000” (seluruhnya diakses 31 Januari 2024); 9) Al-Azhar, Muhammad Nuh, Digital Forensic: Panduan Praktis Investigasi Komputer, Salemba Infotek, 2012
editor: SL/MA
ilustrasi foto atas: Freepik.com
CATATAN PENULIS:
Tulisan ini dibuat untuk tujuan edukasi. Anda diperkenankan membagikan dan mengutip sebagian isi artikel ini dengan menyertakan identitas penulis dan tautan sumber (contoh: Iwan Santosa, “Menilik Kembali Kasus Trio Macan dan Pentingnya Forensik Digital”)