Diorama Busana Batik Keraton Yogyakarta (©iwansantosa)

Menilik Sejarah Batik Terlarang, Tak Hanya di Pernikahan Kaesang

Banyak orang bertanya-tanya, mengapa motif batik parang atau lereng tidak boleh dikenakan oleh para tamu undangan pernikahan Kaesang dan Erina. Padahal, tak hanya di pernikahan Kaesang saja motif batik larangan itu tidak boleh dipakai.

Hajatan ngunduh mantu atau tasyakuran pernikahan putra bungsu Presiden RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep dengan Erina Gudono tersebut dilangsungkan di Puro Mangkunegaran, Surakarta (11/12/2022). Sebelum membahas batik larangan yang tidak boleh digunakan di pernikahan Kaesang dan Erina, kita perlu sekilas memahami lokasi tempat dilangsungkannya pernikahan mereka.

Baca juga → Bangga Batik Indonesia yang Mendunia

Tiga Keraton Mataram

Puro Mangkunegaran
Puro Mangkunegaran adalah satu dari dua kompleks keraton di Kota Surakarta, berlokasi di Jalan Ronggowarsito, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah. (sumber: situs resmi Puro Mangkunegaran)

Alhasil, pascaperjanjian Salatiga kekuasaan Mataram terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta (Kesultanan Yogyakarta) yang dipimpin oleh Hamengkubuwono I (Mangkubumi), Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III, dan Kadipaten Mangkunegaran yang dipimpin oleh Adipati Mangkunegara I (Raden Mas Said).

Batik Larangan Simbol Kekuasaan

Batik di lingkungan istana Mataram dikenakan oleh kalangan kerajaan, untuk busana sultan beserta keluarganya, dan para pembesar keraton. Siapa saja yang boleh memakai motif batik larangan di lingkungan keraton ditentukan berdasarkan status atau kepangkatannya.

Ada motif batik yang hanya boleh dikenakan oleh raja atau putra mahkota, dan ada motif batik yang boleh dikenakan oleh para prajurit. Motif yang boleh dikenakan oleh putra-putri raja dan cucu atau cicit pun berbeda.

Putri Dalem Hamengkubuwono VII
Putri dalem Hamengkubuwono VII mengenakan busana kebaya dengan kain batik motif kawung. (foto: repro koleksi Keraton Yogyakarta)

Penggunaan batik dan tata busana di lingkungan keraton terikat dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh raja atau sultan. Selain sebagai simbol status dan kekuasaan, batik pada era Mataram juga digunakan sebagai bagian dari perangkat ritual dan upacara kerajaan.

Masyarakat di luar lingkungan keraton diperbolehkan memakai batik dengan motif selain motif larangan yang dikhususkan untuk lingkungan kerajaan.

Beberapa motif batik larangan antara lain adalah parang rusak, parang barong, parang gendreh, parang klithik, lereng, kawung, cemukiran, semen, huk. Ada juga motif larangan yang kemudian diperkenankan untuk dipakai masyarakat umum, seperti udan liris dan rujak senthe.

Baca juga → Pesona Istimewa Batik Lasem di Evolusia 2022

Tradisi Budaya Keraton

Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) membawa seluruh kekayaan budaya ageman atau busana Mataram ke Kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, tata busana dan motif batik di Keraton Yogyakarta meneruskan tradisi dari era Mataram.

Prins Poeroebojo
Gusti Pangeran Puruboyo atau Gusti Raden Mas Sujadi, yang kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VIII mengenakan kain batik motif parang, dikelilingi para abdi dalem di kediamannya. (sumber: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Kasunanan Surakarta harus mengembangkan sendiri motif batik kerajaan yang berbeda dengan ciri khas batik Kesultanan Yogyakarta. Pakubuwono III kemudian memanggil para pembatik untuk membuat batik khas Keraton Surakarta atau batik gagrak Surakarta.

Beberapa motif batik gagrak Surakarta antara lain adalah parang, lereng, sawat, kawung. Sedangkan motif batik untuk masyarakat umum yang berkembang di sentra-sentra batik di luar lingkungan keraton antara lain adalah soblog, sidomukti, bokor, truntum, semen, ceplok.

Jadi, aturan mengenai masyarakat umum tidak boleh mengenakan motif batik larangan sudah ada sejak dahulu kala, sebelum Republik Indonesia lahir. Sudah sepantasnya masyarakat umum yang bertamu ke lingkungan Puro Mangkunegaran atau keraton-keraton lainnya menghormati aturan yang berlaku di lingkungan tuan rumah. Apalagi, bila aturan itu adalah kekayaan tradisi budaya yang sudah menjadi bagian dari sejarah Nusantara.


(Ditulis oleh Iwan Santosa)

foto atas: Diorama busana batik di Keraton Yogyakarta (© Iwan Santosa, 2011)

gagasan rekomendasi utama
5 bintang | 7 penilai