Baru-baru ini ramai dibicarakan fenomena public figure yang merekomendasikan saham tertentu, atau dikenal dengan istilah pom-pom saham. Para followers pun tidak sedikit yang tergiur dan mengikuti langkah mereka, dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar, seperti yang diceritakan oleh public figure atau influencer tersebut.
Apakah betul seseorang dapat memperoleh keuntungan besar dari “bermain” saham? Lalu, apakah saham merupakan sarana investasi yang baik?
Tabungan vs Investasi
Dalam dunia investasi, ada istilah high risk high return. Semakin tinggi tingkat pengembalian yang kita inginkan, semakin berisiko investasi tersebut. Saham termasuk instrumen investasi yang memiliki risiko tinggi dibandingkan dengan instrumen lainnya, seperti obligasi, emas, properti, atau deposito. Bagaimana dengan tabungan? Apabila kita menyimpan dana di tabungan selama bertahun-tahun, apakah nilainya akan terus meningkat?
Yani Monalisa, S.E., M.M., dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha dalam sebuah artikel berjudul “Belajar Saham: Sekarang Saat Tepat untuk Masuk?” membuat tabel simulasi sederhana. Ia membandingkan jumlah dana yang terkumpul selama 10 hingga 30 tahun, dari tabungan deposito dan investasi saham. Asumsinya adalah kita menyisihkan dana secara rutin sebesar 500 ribu rupiah setiap bulannya; bunga deposito gross 1% per tahun dengan pemotongan pajak 20%; dan imbal balik saham net rata-rata 10% per tahun, setelah dikurangi pajak final 0,1%.
Hasilnya, dalam waktu 10 tahun tabungan mengumpulkan dana kurang lebih 62 juta, sementara saham menghasilkan sekitar 102 juta. Dalam masa 30 tahun, tabungan menghasilkan dana sekitar 203 juta, sementara saham menghasilkan lebih dari 1 miliar. Terlihat dari simulasi ini bahwa tabungan bukanlah alat yang tepat untuk berinvestasi. Apalagi bila bunga tabungan yang hanya berkisar 0,8% per tahun dibandingkan dengan nilai inflasi yang saat ini mencapai 2,28% (rata-rata Januari-Agustus 2020).
Nasib Saham Saat Pandemi
Pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Grafik IHSG dalam jangka panjang cenderung memiliki pola uptrend atau naik. Namun pada tahun 2020 seiring dengan merebaknya pandemi Covid-19, IHSG merosot tajam. Hal ini disebabkan kekhawatiran para investor, sehingga mereka cenderung memilih untuk menjual sahamnya dan mengalihkan dana ke investasi yang dianggap lebih aman, emas misalnya.
Yani menyebutkan bahwa hukum ekonomi berlaku juga di pasar saham. Saat penawaran lebih banyak daripada permintaan, harga akan turun. IHSG menyentuh titik terendah pada 23 Maret 2020, yaitu pada level 3.911,72. Secara umum hal ini dapat diartikan harga-harga saham pada titik ini menyentuh harga termurahnya. Selanjutnya, IHSG menunjukkan tanda kenaikan mulai Maret hingga akhir tahun 2020, dengan level 5.979,07 pada 30 Desember 2020.
Memasuki awal tahun 2021, IHSG kembali menunjukkan penguatan. Bahkan, IHSG sempat menduduki level kenaikan tertinggi di ASEAN pada posisi 6.435,21 pada 13 Januari 2021. Hal ini menunjukkan adanya sikap optimis dari para pelaku di pasar modal bahwa investasi saham akan pulih, walaupun masih dibayangi penurunan dikarenakan pandemi yang masih belum dapat diatasi.
Momen seperti ini oleh sebagian pelaku pasar justru dianggap sebagai saat yang tepat untuk mulai membeli atau menabung saham-saham yang memiliki fundamental bagus. Mengapa? Karena saat ini kita berkesempatan membeli saham bagus dengan harga rendah.
Dalam jangka panjang saham-saham tersebut cenderung akan berkinerja bagus, nilainya akan kembali tinggi, dan dapat menghasilkan imbal balik yang bagus pula. Syaratnya adalah bahwa kita harus mengetahui mana saja saham dengan fundamental yang baik, dan menyesuaikan strategi investasi dengan preferensi risiko kita masing-masing.
Jadi, jangan termakan rayuan ikut-ikutan membeli saham hanya karena ajakan para influencer yang merekomendasikan saham tertentu tanpa dasar yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
(m!)
gambar ilustrasi atas: vecteezy.com