Membuat video sudah menjadi keahlian umum di zaman digital sekarang ini. Apalagi bagi generasi digital native, membuat video sudah menjadi insting bermedia sehari-hari. Betul sekali pendapat yang menyatakan bahwa budaya media saat ini sudah bergeser. Masyarakat bukan saja menjadi konsumen media, tetapi sudah menjadi bagian dari produsen media.
Ditambah lagi, film merupakan media komunikasi yang sangat baik dan efektif. Melalui film, kita dapat menyampaikan pesan apa pun kepada audience atau khalayak pemirsanya.
Langsung lompat ke → Daftar Isi
Bermodalkan smartphone berkamera jernih dan aplikasi video editing yang sangat mudah dioperasikan bahkan hanya dari hape, video production pun berlangsung. Hasilnya bisa berupa video yang tayang di TikTok, IG Reels, juga YouTube. Untuk bisa membuat video seperti ini tidak perlu pelajaran dan penjelasan panjang lebar mengenai cara membuatnya. Siapa pun pastinya bisa.
Video Naik Level
Bila Anda ingin lebih serius membuat video yang level selanjutnya—misalnya video dokumenter edukasi, video promosi untuk memasarkan bisnis Anda, atau film cerita pendek untuk kompetisi short movie, dan video-video untuk keperluan yang lebih “serius” lainnya—Anda perlu mengetahui bagaimana langkah-langkah proses produksi video yang lebih sistematis.
Artikel ini membahas proses produksi video yang umumnya dilakukan oleh para filmmaker profesional. Artikel ini bukan tutorial teknis, juga bukan bermaksud menggurui, tetapi mencoba memberi wawasan umum bagi Anda, khususnya yang belum pernah belajar atau membuat video secara “serius”, agar memiliki landasan yang lebih kuat untuk terjun ke produksi video yang lebih profesional.
Tujuannya, tentu agar Anda dapat membuat video dengan proses yang lebih baik. Bila film atau video yang Anda buat baik kualitasnya, maka akan semakin efektif pesan yang hendak Anda sampaikan melalui film itu.
Nanti setelah landasan ini Anda pijak, Anda akan dapat menerapkan dan mengembangkannya sesuai kebutuhan dan kreativitas Anda. Selanjutnya, Anda akan dapat lebih pede membuat film atau video dengan gaya Anda sendiri. Siap?
Daftar Isi
- Awalnya Bukan Kamera
- Tiga Tahap Utama
- Skala Produksi
- Tim Produksi
- Faktor Budget
- Fase Praproduksi
- Naskah Penting
- Macam-Macam Script
- Shot List
- Setelah Produksi
- Offline dan Online Editing
- Sound Editing
- Peran Penting Editor
- Finalisasi
- Penutup
- Sepuluh Tips Produksi Film
Awalnya Bukan Kamera
Sebelum berlanjut, kita samakan pengertian terlebih dahulu. Sementara ini istilah film dan video dalam artikel ini kita anggap sama, yaitu gambar bergerak yang siap dan layak ditonton. Perlu diketahui, ada yang menganggap video adalah segala hasil rekaman gambar bergerak—yang umumnya dibuat menggunakan kamera digital atau bahkan smartphone. Sedangkan film adalah hasil akhir rekaman video yang sudah “jadi” dan siap dipertontonkan.
Ada juga yang beranggapan, film adalah video yang sudah “matang”, ada ceritanya. Sedangkan video bisa berupa potongan gambar bergerak dan hasil rekaman tanpa cerita. Sejatinya, kedua istilah tersebut memang berbeda makna, wujud, dan asal-usulnya. Namun, itu adalah pembahasan untuk artikel lainnya. Kali ini, kita anggap sama dan bisa saling ditukar.


Banyak yang mengira proses produksi film berawal ketika kamera dinyalakan dan mulai merekam gambar. Pemikiran ini tidak sepenuhnya benar. Proses pembuatan film atau video sebetulnya sudah dimulai jauh sebelum kamera rolling.
Tiga Tahap Utama
Secara umum, proses pembuatan film dimulai dari ide di kepala sang filmmaker, dan berakhir sampai benar-benar menjadi produk akhir berupa film layak tayang. Prosesnya terdiri dari tiga fase utama, yaitu tahap praproduksi, produksi, dan pascaproduksi.
Tahap praproduksi biasanya dimulai dari pengembangan ide, penulisan script, hingga perencanaan menjelang shooting. Tahap produksi adalah tahap shooting atau pengambilan gambar. Tahap terakhir adalah pascaproduksi yang melibatkan editing hingga film siap dirilis dan didistribusikan.
Ada filmmaker yang memisahkan fase pengembangan ide dan penulisan script menjadi tahapan tersendiri sebelum praproduksi. Ada juga yang menambahkan satu fase setelah pascaproduksi, secara spesifik memisahkan tahap perilisan dan distribusi menjadi satu fase tersendiri.

Baca juga → Mengenal Film dan Video, Apa Bedanya?
“Stand by… Roll camera…”
“Action!”
Kalimat tersebut biasa diucapkan oleh seorang sutradara di lokasi shooting. Mari kita mulai pembahasan dari sini, yaitu tahap tengah dari keseluruhan proses pembuatan film. Setelahnya barulah kita bahas fase-fase kunci lainnya yaitu praproduksi dan pascaproduksi.
Kenapa? Karena tahap produksi inilah yang biasanya terlihat paling seru. Tahap ini mungkin juga paling familier bagi siapa pun yang pernah membuat video apa pun.
Skala Produksi
Bila Anda biasa membuat video personal dan sendirian, alias single fighter tanpa tim atau tanpa melibatkan banyak pemain, pastilah Anda tidak perlu berteriak “Roll camera… Action… Cut!” Jelas, karena proses pengambilan gambarnya Anda lakukan sendiri. Cameraman-nya adalah Anda sendiri, dan sutradaranya juga Anda sendiri.
Lain halnya bila skala produksinya lebih besar, proses produksi film menjadi proses kolaboratif yang melibatkan banyak pihak dan banyak urusan.
Bila film yang diproduksi melibatkan lebih banyak pemain, lebih banyak peralatan, dan lebih banyak kru, maka diperlukan sebuah cara koordinasi yang dapat dipahami bersama, agar proses produksi berjalan baik.
Sebagai contoh, misalnya proses produksi film dokumenter sederhana berskala kecil yang melibatkan jumlah tim sangat minimalis. Tim ini bisa saja terdiri dari satu orang cameraman, satu orang sutradara, satu orang runner. Dalam contoh ini, tugas mereka adalah memproduksi film pendek yang adegan utamanya adalah aktivitas tokoh dan narasumber wawancara.
Tim Produksi
Tugas cameraman sudah jelas, yaitu mengoperasikan kamera. Dalam tim kecil ini ia juga merangkap sebagai penata gambar, atau istilah kerennya director of photography—disingkat DoP atau DP. Ia tidak hanya bertanggung jawab mengurus kamera dan peralatannya, tapi juga wajib memikirkan faktor-faktor sinematografi termasuk tata cahaya, agar gambar yang direkamnya sesuai dengan harapan.
Katakanlah adegan yang direkam adalah adegan wawancara yang menampilkan narasumber sedang menjelaskan dan menunjukkan suatu proses di sebuah lokasi.
Siapa yang mengarahkan adegan yang dilakukan oleh si narasumber? Siapa yang mengarahkan kalimat-kalimat apa yang perlu diucapkannya saat pengambilan gambar? Dia adalah sang sutradara. Ia juga perlu menentukan lokasi atau set pengambilan gambar, dan apa saja yang perlu direkam oleh cameraman.
Saat shooting, sutradara dan cameraman itu dibantu oleh seorang runner. Pada contoh ini, tugasnya mengurus peralatan shooting, membantu mengatur hal-hal teknis semacam urusan sound recording hingga lighting. Ia juga membantu hal-hal operasional di lapangan.
Dalam sebuah produksi skala kecil, bisa saja tim tiga orang tersebut sudah cukup untuk menjalankan proses produksi. Namun, idealnya ada kru khusus yang dedicated mengurus sound, juga kru yang khusus mengurus lighting. Dua kru ini secara spesifik disebut sebagai sound recordist atau soundman, dan gaffer.
Pada contoh di atas, tugas soundman dan gaffer dirangkap oleh satu orang runner—yang luar biasa serbabisa. Terkadang, ada yang merangkapkan semua tugas ini di pundak asisten produksi, dan dalam beberapa kasus bisa juga turun pangkat menjadi pembantu umum. Hal ini bisa terjadi bila jenis film yang dibuat tidak terlalu membutuhkan tata cahaya dan tata suara yang kompleks, atau dana produksinya sangat terbatas.
Tiada rotan, akar pun jadi—semuanya dirangkap-rangkap. Yang penting filmnya jadi, kan! Duh… Ini adalah sikon yang jauh dari ideal, tapi perlu diketahui untuk wawasan. Bila memang sikonnya demikian, masih jauh lebih baik kita punya tim kecil yang tugasnya merangkap-rangkap, daripada tidak ada tim sama sekali. Yang penting, masing-masing tau tugasnya, dan tetap bisa bekerja seprofesional mungkin.
Faktor Budget
Pola kerja tim kecil seperti ini banyak dipakai oleh filmmaker indie dan production house yang biasanya membuat film-film sangat sederhana dengan budget terbatas. Jumlah orangnya bisa bervariasi mengikuti kompleksitas film yang akan dibuat.
Selanjutnya, bayangkan produksi film yang berskala besar, seperti film-film box-office Hollywood ber-budget miliaran dolar. Jumlah timnya bisa membengkak dari belasan hingga ratusan orang, hanya mengurus fase produksi saja. Ini adalah contoh ekstrem, untuk memberikan gambaran mengenai skala produksi film.

Fase Praproduksi
Ilustrasi di atas bisa menjawab beberapa pertanyaan mendasar yang sering diajukan oleh pembuat film pemula saat merencanakan tahap produksi.
- Butuh tim produksi berapa orang?
- Butuh peralatan apa saja?
- Bagaimana proses shooting-nya?
Jawaban atas ketiga pertanyaan itu sangat berkorelasi dengan skala produksi, juga ekspektasi film final yang akan dihasilkan. Semakin kolosal filmnya, semakin panjang durasinya, semakin kompleks sinematografinya, semakin banyak peralatan yang dipakai, semakin besar jumlah timnya, semakin besar budget yang tersedia, maka semuanya itu menjadi faktor pertimbangan yang saling berkaitan.
Jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut juga tidak lepas dari jenis dan konsep film yang akan dibuat. Maka, masuklah kita ke pembahasan fase praproduksi, yang banyak berurusan dengan penulisan (screenwriting atau scriptwriting) dan perencanaan.
Naskah Penting
Sebelum kamera dinyalakan, cameraman harus sudah tahu akan mengambil gambar apa, di mana, seberapa lama, dan apa adegannya. Hal-hal ini tercantum dalam naskah, skrip, atau script. Proses pembuatan script biasanya terjadi pada fase praproduksi.
Script juga menjadi landasan bagi sutradara saat proses produksi. Dalam hal ini, sutradara bertugas mewujudkan script tersebut menjadi aktivitas yang dapat direkam, sesuai visi yang dibayangkan dalam script.
“Saya hanya membuat film pendek kok, rasanya berlebihan bila harus membuat script…”
Pemikiran itu cukup wajar bagi seorang pemula. Percayalah, script sangat penting. Tentunya tidak perlu membayangkan script rumit dan formal seperti screenplay atau director’s treatment film-film box-office Hollywood, bila skala produksinya kecil dan sederhana.

Macam-Macam Script
Script dan dokumen dalam produksi film ada banyak macamnya. Dalam produksi film fiksi, dikenal naskah yang disebut screenplay atau skenario. Naskah ini ditulis oleh screenwriter—atau biasa disebut secara generik sebagai scriptwriter. Lain halnya dengan film dokumenter, naskahnya biasa disebut secara umum sebagai shooting script atau script saja.
Screenplay adalah naskah teks berisi storyline atau jalannya cerita dari awal sampai bagian akhir film, dengan detail deskripsi penggambaran adegan, suasana, dialog, transisi adegan, juga arahan mengenai suara. Semuanya dideskripsikan secara naratif, dan sifatnya nonteknis. Screenplay berfokus menjabarkan rangkaian adegan, bukan arahan teknis bagaimana adegan itu akan direkam.
Naskah dalam produksi film yang sederhana bisa saja tidak selengkap dan sekaku screenplay film fiksi panjang. Format script yang digunakan dalam film dokumenter juga cenderung fleksibel. Paling sederhana biasanya berupa tabel minimal dua kolom, masing-masing berisi deskripsi visual dan deskripsi suara.

Tabel tersebut bisa dikembangkan menjadi banyak kolom sesuai kebutuhan sang sutradara, misalnya untuk menambahkan detail narasi, camera angle, dan catatan lainnya yang bertujuan memudahkan proses pengambilan gambar.
Versi “naskah” berikutnya yang lebih visual, adalah berupa storyboard. Ini adalah rangkaian adegan yang divisualisasikan menggunakan sketsa atau gambar. Storyboard untuk film fiksi biasanya merupakan dokumen yang berdiri sendiri. Namun dalam film dokumenter, storyboard bisa saja hanya berupa sketsa sederhana yang disatukan dalam dokumen shooting script atau shot list.
Lihat juga → Perbedaan Film Dokumenter dan Fiksi

Ada filmmaker yang membutuhkan script lengkap dan rigid dalam proses produksinya, karena memang jenis film dan skala produksinya menuntut hal tersebut. Namun ada juga filmmaker yang hanya membutuhkan script sederhana, bahkan tanpa storyboard, atau hanya berupa shot list saja.
Jenis film dan skala produksi akan sangat menentukan sejauh apa dokumen script yang dibutuhkan agar proses produksi berjalan lancar. Pada dasarnya, script adalah blueprint untuk proses produksi sebuah film. Semakin besar tim yang terlibat, dan semakin kompleks cerita yang disampaikan, semakin membutuhkan script yang dapat diandalkan.
Script adalah patokan agar semua pihak yang terlibat produksi memiliki gambaran yang sama, dan dapat bergerak ke arah yang sama untuk mewujudkannya.
Sungguh tidak lucu bila sang sutradara punya gambaran ke arah A, tapi sang cameraman mengambil gambar ke arah B, dan narasumber atau aktor yang direkam melakukan aktivitas C. Ini bisa saja terjadi bila tidak ada script yang menjadi pegangan.
Lebih lanjut mengenai penulisan naskah atau scriptwriting khususnya untuk film dokumenter, dapat dibaca pada artikel berikut ini.
Artikel terkait → Seputar Film Dokumenter dan Cara Membuatnya
Shot List
Ada satu dokumen lagi yang dibutuhkan oleh seorang filmmaker sebelum memulai proses shooting, yaitu shot list. Sesuai namanya, dokumen ini berupa tabel yang berisi daftar shot apa saja yang perlu direkam dalam tahap produksi.
Shot list adalah turunan dari screenplay atau shooting script, yang sifatnya lebih teknis dan berorientasi tahap produksi. Shooting script ditulis berdasarkan urutan alur cerita, sedangkan shot list bisa ditulis berdasarkan kelompok adegan atau kelompok lokasi shooting, bukan berdasarkan urutan alur.
Shot list bisa disertai deskripsi teknis yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan shooting script atau screenplay, karena lebih ditujukan untuk tim produksi, agar mereka dapat mengambil gambar sesuai yang diharapkan oleh sutradara atau penata kamera.
Shot list menjadi panduan bagi tim produksi untuk memastikan semua gambar didapatkan, tidak ada yang terlewat. Shot list juga sekaligus menjadi landasan untuk mengatur jadwal shooting harian.

Dalam proses produksi berskala kecil dan filmnya sederhana, sangat mungkin shot list atau shooting script adalah satu-satunya dokumen yang dibuat oleh sang filmmaker. Hal ini tidak aneh, dan memang biasa terjadi. Yang terpenting, proses produksi tidak dilakukan secara “buta” tanpa arah yang jelas. Itulah tujuan dari dibuatnya script—apa pun bentuknya.
Saat produksi berjalan, shot list bisa juga dilengkapi dan sekaligus berfungsi sebagai shooting log, yaitu dokumen yang mencatat adegan mana saja yang telah direkam, mana yang diulang, dan mana yang ditambahkan. Shooting log ini nantinya akan memudahkan proses kerja berikutnya saat editing. Dalam produksi skala besar, shooting log dibuat khusus dengan informasi yang lebih detail, dan ada kru khusus untuk menanganinya.
Setelah Produksi
Sampai di titik ini, produksi sudah siap dilaksanakan. Selanjutnya, kita anggap proses produksi berjalan dengan lancar, dan semua footage telah direkam sesuai dengan shot list. Langkah selanjutnya adalah masuk fase pascaproduksi.
Langkah pertama dalam fase pascaproduksi adalah mengumpulkan dan memilah semua footage yang telah direkam. Dalam proses ini, shooting log akan sangat membantu karena berisi catatan footage-footage atau file mana saja untuk urutan adegan bagian mana; footage mana yang kurang sempurna dan diulang pengambilannya; footage mana yang perlu dipotong; dan catatan-catatan lainnya untuk pertimbangan pemilahan.
Setelah semua “sampah” atau footage buruk dipilah dan dipotong, editor bertugas menyatukan potongan-potongan footage sesuai urutan yang diamanatkan dalam script. Dalam hal ini, editor “menjahit” semua footage itu menjadi satu rangkaian sequence adegan sesuai storyline.
Dalam tahap awal pascaproduksi ini, terkadang sutradara atau screenwriter bisa menginterupsi dan merevisi visual bila dirasa ada cara yang lebih baik untuk menyampaikan ceritanya, setelah melihat stok footage yang ada. Maka, ada istilah tahapan assembly cut atau first assembly, kemudian rough cut, fine cut, hingga final cut. Script yang direvisi atau dibuat pada tahap ini biasanya disebut dengan editing script.

Offline dan Online Editing
Sebelum berlanjut ke tahap edit berikutnya, rangkaian potongan gambar perlu dikunci alias picture lock, agar tidak direvisi lagi. Tahapan awal merangkai footage menjadi rough cut sampai picture-locked fine cut, oleh studio-studio pascaproduksi disebut tahapan offline editing.
Istilah offline editing ini mengacu proses teknis editing menggunakan file proxy atau file perantara beresolusi rendah. Proses ini dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah proses edit footage yang aslinya berukuran besar, misalnya 4K ke atas.
Nantinya setelah picure lock, barulah editing menggunakan file sebenarnya yang beresolusi tinggi dilakukan. Proses ini disebut online editing, untuk menghasilkan final cut.
Tidak semua filmmaker atau editor menerapkan tahapan offline dan online editing. Bila film yang diproduksi tidak sampai ukuran 4K, atau perangkat yang digunakan sudah sangat mumpuni, proses edit dari rough cut sampai final cut dapat langsung “online” menggunakan file ukuran aslinya, tidak perlu menggunakan proxy.
Proses selanjutnya adalah memoles rangkaian footage, agar menjadi sedekat mungkin dengan gambaran visual sang sutradara. Proses ini melibatkan koreksi gambar, color grading, sampai menambahkan motion graphic dan efek visual.

Sound Editing
Urusan suara juga menjadi perhatian utama pada tahapan ini. Proses sound editing melibatkan koreksi suara, memasukkan voice over, menambahkan musik latar, mengatur level dan balance antara elemen-elemen suara satu dengan lainnya (audio mixing), hingga menambahkan sound effect.
Banyak fimmaker sangat pemula yang kurang aware terhadap urusan suara, baik pada fase produksi maupun pada fase pascaproduksi. Padahal, unsur suara sangatlah penting dalam sebuah film. Selain dialog utama, unsur suara latar dan suara-suara lainnya adalah pemegang peranan penting untuk membangkitkan emosi dan suasana.
Ada juga filmmaker pemula yang berpikir bahwa proses pascaproduksi adalah proses penyelamat produksi. Tidak jarang, filmmaker seperti ini membiarkan kesalahan terjadi saat produksi, dan berharap dapat diperbaiki saat editing pascaproduksi. “Nanti aja diedit di postpro,” begitu katanya.
Contoh kesalahan continuity error
Coba perhatikan, ada kejanggalan dalam salah satu adegan Django Unchained (2012) ini. Anda bisa menemukan kejanggalan itu? Kesalahan seperti ini termasuk kategori continuity error.
Peran Penting Editor
Proses editing memang bisa melakukan koreksi dan memoles footage agar tampak lebih baik. Namun hal ini ada batasnya. Footage yang adegannya salah pengaturan lighting atau salah angle, tentu tidak dapat dikoreksi. Adegan wawancara yang penggunaan mic-nya salah, juga tidak bisa dikoreksi tanpa take ulang. Intinya, mengedit sampah, hasilnya akan tetap sampah juga. Jadi, hindari kesalahan sejak tahap awal.
Seorang editor tidak hanya bekerja mengandalkan keahlian teknis—memotong, menyambung, dan memoles footage—tapi juga harus kreatif dan memahami film yang sedang ia edit. Ia harus memahami cerita yang ingin disampaikan, ia harus memahami bagaimana cerita itu harus ditampilkan di layar.

Editor adalah sosok penting, ia adalah lini terakhir yang bertangung jawab mewujudkan visi yang dibayangkan oleh sutradara atau screenwriter. Footage hasil shooting tahap produksi tidak akan bisa dinikmati tanpa sentuhan kreatif sang editor.
Peran editor menjadi semakin krusial pada pembuatan film dokumenter. Pada film jenis ini, umumnya cerita utuh baru bisa dimunculkan pada tahap pascaproduksi. Oleh karena itu, fase pascaproduksi menjadi tahap yang sangat penting bagi filmmaker dokumenter.
Finalisasi
Setelah seluruh proses editing selesai, dan film yang dihasilkan telah sesuai script dan visi sutradara, maka proses pascaproduksi bisa dianggap selesai. Filmnya siap dirilis. Tugas selanjutnya adalah menyiapkan film itu sesuai format media penayangannya.
Sebagai contoh, bila film itu akan ditayangkan di bioskop, maka format file finalnya perlu disesuaikan dengan spesifikasi teknis yang telah ditentukan oleh pihak bioskop tersebut. Spesifikasi ini biasanya berupa ukuran frame, jenis encoding, bitrate, frame rate, dan seterusnya.
Bila filmnya akan dirilis di YouTube, maka film finalnya perlu di-export atau di-encode sesuai spesifikasi yang direkomendasikan oleh YouTube. Saat ini, YouTube merekomendasikan format file MP4 dengan video codec H.264 dan audio codec AAC-LC. YouTube juga kompatibel dengan format-format populer lainnya seperti MOV, WMV, AVI, WebM.
Sedangkan ukuran yang bisa diunggah, adalah sampai dengan 4K atau 2160p (3840 x 2160 px) dengan aspect ratio 16:9. Spesifikasi umum yang direkomendasikan oleh YouTube ini akan menghasilkan gambar berkualitas baik, dengan ukuran file yang tidak terlalu besar. Spesifikasi ini tentu bisa berubah menyesuaikan perkembangan teknologi.
Baca juga → Jangan Asal Jepret, Yuk Bikin Fotomu Bercerita!
Penutup
Itulah tahapan kunci proses pembuatan film yang biasa dilakukan oleh filmmaker dan studio produksi profesional. Tahapan yang diuraikan dalam artikel ini bertujuan memberikan gambaran besar mengenai proses produksi film dari tahap penulisan naskah hingga akhir proses editing dan film siap ditayangkan.
Sebagai tambahan wawasan, proses berkarya setiap filmmaker bisa saja berbeda. Ada filmmaker yang menerapkan tahapan-tahapan spesifik yang dirasa cocok untuknya dan timnya bekerja. Namun secara umum, tahapan keseluruhannya tidak akan berbeda jauh dari apa yang telah diuraikan sebelumnya.
Bila Anda ingin lebih serius mendalami dunia filmmaking, Anda bisa mempelajari beberapa topik spesifik berikut ini: screenwriting, production planning, storyboarding, penyutradaraan (film directing), sinematografi, tata cahaya (lighting), tata suara (sound design), film editing, juga sound recording dan sound editing.
Masing-masing topik tersebut adalah bagian dari proses produksi film yang memerlukan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman spesifik. Selain beberapa topik umum tersebut, masih ada banyak topik lebih spesifik dan lebih teknis lainnya, khususnya bila Anda ingin terjun ke dunia industri perfilman.
Sepuluh Tips Produksi Film
Setelah mengetahui langkah-langkah sistematis tahapan produksi film, berikut ini adalah sepuluh tip praktis seputar pembuatan film yang perlu diketahui, khususnya oleh pembuat film pemula.
- Tahap pengembangan naskah praproduksi adalah tahap penting yang tidak boleh disepelekan.
Bila naskahnya buruk, hampir mustahil film yang dihasilkan bisa bagus. - Saat mengembangkan naskah, berpikirlah tahap demi tahap dari makro ke arah mikro.
Buatlah gambaran besar, kemudian mendetail ke gambaran setiap adegan. Setelah itu, rangkailah semua adegan menjadi sebuah cerita yang utuh dan kohesif. - Dalam tahap pengembangan dan penulisan naskah, berpijaklah pada tujuan pembuatan film, juga audience yang disasar.
Hal ini akan sangat menentukan bagaimana ide dan cerita akan disampaikan.
Jenis film yang Anda buat juga sangat berpengaruh. Sebagai contoh, proses pengembangan naskah film fiksi tidak sama dengan film nonfiksi, walaupun garis besarnya mungkin tidak jauh berbeda. - Anda perlu mengetahui dan menetapkan batasan-batasan Anda sejak dari awal, agar nantinya tidak terhambat dan stuck di tahap selanjutnya.
Batasan ini juga termasuk batasan waktu dan biaya.
Jangan membuat script yang bakal membuat budget menjadi bengkak ketika dieksekusi, hingga akhirnya menghambat produksi. Jangan pula membuat script yang kompleks, bila durasi filmnya terbatas, dan waktu produksinya juga terbatas. - Penulisan naskah bisa saja fleksibel, tidak harus mengikuti kaidah baku yang rigid.
Hal ini bisa dilakukan khususnya bila tim Anda adalah tim kecil yang sangat mudah berkomunikasi dan berkoordinasi, dan jenis filmnya sederhana. Yang penting, gambaran di kepala Anda selaku pembuat film atau sutradara dapat dimengerti oleh seluruh tim untuk mewujudkannya. - Seluruh elemen yang ada dalam frame film adalah tanggung jawab sang sutradara.
Maksudnya, sutradara wajib mengatur apa saja yang masuk dalam frame—dan apa saja yang tidak. Saat shooting berlangsung, pusatkan perhatian pada apa yang direkam di layar, termasuk faktor subjek, sampai sinematografinya. - Ada baiknya saat shooting berlangsung (bahkan sejak sebelumnya), mindset editing juga sudah ada di kepala sang sutradara.
Hal ini untuk memastikan bahwa hasil akhir footage yang direkam sesuai dengan kebutuhan setelah nantinya dirangkai dalam proses editing. Sebagai contoh, bila sebuah adegan akan diedit menggunakan gaya potongan match cut, maka pengambilan gambarnya juga harus disiapkan spesifik untuk transisi yang dimaksudkan itu. - Ingat-ingat, editing pascaproduksi bukanlah proses untuk memoles sampah dan memperbaiki kesalahan.
Lakukan shooting sesempurna mungkin, untuk meminimalisir kesalahan. Kesalahan kecil mungkin bisa diperbaiki saat editing, walaupun itu berarti menambah pekerjaan fase pascaproduksi. Namun, kesalahan fatal tidak akan bisa diperbaiki oleh proses editing. - Proses editing pascaproduksi juga bergantung pada script.
Jadi, bila naskahnya buruk, jangan harap proses editing bisa memolesnya agar menghasilkan film yang bagus. - Hal yang cukup sering dilupakan oleh filmmaker pemula adalah urusan suara.
Berikan perhatian lebih para urusan suara ini, mulai dari saat recording sampai sound editing dan audio mixing pada tahap pascaproduksi. Faktor suara adalah bagian penting sebuah film, memegang peranan krusial untuk membentuk suasana dan emosi.
Contoh match cut
Adegan “shower scene” dalam film Psycho (1960) menerapkan gaya editing yang disebut match cut. Gaya editing seperti ini perlu direncanakan dan diantisipasi sejak tahap produksi saat syuting dilakukan, untuk memastikan kesamaan visual pada shot satu dengan shot selanjutnya, agar transisi dapat berjalan sesuai rencana.
(Ditulis oleh Iwan Santosa)
CATATAN PENULIS:
Tulisan ini dibuat untuk tujuan edukasi. Anda diperkenankan membagikan dan mengutip sebagian isi artikel ini dengan menyertakan identitas penulis dan tautan sumber (contoh: Iwan Santosa, “Mulai Serius Produksi Film, Kuatkan Tahapan Kuncinya”).
Ternyata gitu triknya. Gampang-gampang susah
Trik yang sangat bermanfaat. Kunjungi https://unair.ac.id/