Seorang siswa SMA menghadapi situasi sulit ketika akan menentukan jurusan kuliah. Ia ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, mengambil jurusan sesuai passion-nya. Namun, orang tuanya berkata lain.
“Nanti kamu bakal kesusahan, income finansialmu juga bakal kurang,” kata siswa itu menirukan orang tuanya. Ia sudah berusaha menjelaskan keinginannya itu, tetapi orang tuanya tetap tidak setuju.
Lalu, harus bagaimana ia menyikapi situasi itu?
Pas banget, untungnya ia bertemu dengan Sophie Navita, penulis buku Hati yang Gembira Adalah Obat: Si Paling Overthinking. Saat itu Sophie sedang berbincang mengenai passion, purpose, dan pengalamannya berkuliah yang ternyata kurang sesuai dengan yang ia bayangkan sebelumnya.
Baca juga → Cermat Pilah-pilih Jurusan Kuliah, Jangan Menyesal Kemudian
Lawyer Tak Sampai
Sebelumnya, dalam sesi talkshow di kampus Universitas Kristen Maranatha (20/7/2024) itu Sophie sempat menceritakan bahwa kuliahnya di jurusan hukum dilatarbelakangi keinginan menjadi seorang lawyer. Saat itu ia mengagumi pekerjaan para lawyer yang ia tonton dalam film serial “L.A. Law”.
Celakanya, lawyer yang ia bayangkan ternyata tidak segambaran dengan kenyataan dunia lawyer yang sebenarnya di Indonesia. Jelas tak sama, karena ia membayangkan aktivitas lawyer di Amerika, yang sistem hukumnya berbeda dengan Indonesia.
Apakah Sophie menyesalinya? Ternyata tidak. Ia akhirnya lulus dari Unpar (Universitas Katolik Parahyangan), menyandang gelar S.H. alias Sarjana Hukum. Walaupun demikian, cita-citanya menjadi seorang lawyer tidak dilanjutkan. Ia lebih memilih berprofesi dan beraktivitas mengikuti passion dan purpose hidupnya. Dua hal ini akan kita bahas nanti.
Sophie Navita adalah ibu dari dua orang putra. Ia memiliki prinsip bahwa pendidikan itu penting, dan penting bagi seseorang untuk merencanakan pendidikannya dengan cermat.
Putra sulungnya saat ini sedang menempuh kuliah hukum di UGM (Universitas Gadjah Mada). Bukan semata-mata mengikuti jejak sang ibu, tetapi ia memang berkeinginan kuat mempelajari intellectual property rights, yang sangat relevan dengan perkembangan media dan dunia kreatif saat ini.
Keinginan putranya itu tidak datang tiba-tiba, tetapi sudah berproses panjang termasuk berubah-ubahnya kemauan sampai akhirnya yakin mengambil keputusan final. Sebagai seorang ibu, Sophie pun ikut memberikan arahan dan sangat mendukung putranya.
Baca juga → Panduan Terlengkap Memilih PTS agar Tidak Salah Langkah
Solusi Passion Anak Vs Kemauan Orang Tua
Kembali ke permasalahan siswa SMA di awal artikel ini, Sophie punya pandangan yang sangat bijak. Namun, sebelum menjawab pertanyaan dari sang siswa, Sophie balik bertanya, “Seberapa besar kamu ingin kuliah di jurusan sastra Inggris?”
Sang siswa menjawab, “Mau banget, mau berat, … pokoknya dari dulu aku Inggris banget.” Di sisi lain, orang tuanya menginginkan agar ia masuk jurusan ilmu komunikasi atau akuntansi.
Begini kata Sofie kepada siswa itu, “Kamu jangan ngalah, tapi juga jangan ngelawan orang tua, cari middle-nya.” Nah, mencari “middle-nya” ini yang jadi kunci. Bagaimana caranya?

Rupanya Sophie punya trik terkait hal itu. Triknya cenderung logis dan sistematik. Ia mendorong sang siswa untuk membuat proposal kepada orang tuanya, dalam bentuk tertulis, lalu dipresentasikan.
Ia mengungkapkan bahwa kadang-kadang orang tua hanya perlu dijelaskan saja, karena belum memahami dengan baik apa yang jadi keinginan anaknya.
Dalam kasus ini, orang tuanya cenderung beranggapan bahwa jurusan sastra Inggris tidak punya prospek baik. Kemungkinan besar anggapan itu terjadi karena orang tuanya tidak memiliki wawasan yang cukup mengenai sastra Inggris.
Oleh karena itu, sang anak perlu menjelaskannya, memberi gambaran kepada orang tuanya dengan fakta-fakta mengenai jurusan sastra Inggris, prospek kerja lulusannya, dan seterusnya. “Tunjukkan kepada mereka bahwa inilah yang kamu inginkan,” kata Sophie.
Namun, Sophie juga memberi warning.
Orang tua pada umumnya memiliki “helicopter view” atau “drone view”, bisa melihat hal-hal secara luas dan panjang. Sementara itu, anak biasanya hanya memiliki pandangan terbatas atau “terlokalisasi”. Kedua pandangan ini perlu disatukan, dicari tengahnya.
Setelah pandangannya menyatu, mungkin saja orang tua menjadi terbuka mata dan hatinya sehingga bisa melihat bahwa anaknya memang cocok berkuliah di jurusan sastra Inggris, dan akhirnya ikut memberikan support.
Namun sebaliknya, bisa juga dalam diskusi yang terjadi, malah terungkap bahwa cita-cita sang anak yang sebenarnya adalah ingin menjadi sesuatu yang ternyata lebih tepat bila dicapai melalui jurusan lain, bukan sastra Inggris. Dalam kasus ini, orang tua bisa memberikan arah yang lebih tepat setelah memahami tujuan akhir yang ingin dicapai oleh sang anak.
Baca juga → Perlukah Menjalani Bisnis Sesuai Passion?
Jangan Cari Aman
Perlunya membuat proposal dalam bentuk tulisan, sering kali juga bisa membantu diri sendiri untuk memahami dan mengetahui hal-hal yang mungkin sebelumnya tidak terlihat. Bisa saja ada hal-hal tersembunyi yang baru disadari ketika kita menuangkannya dalam tulisan.
Jangan sampai keinginan kuat itu timbul karena kurangnya wawasan dan pemahaman juga. Persis seperti pengalaman pribadi Sophie, membayangkan dirinya berprofesi lawyer seperti di serial “L.A. Law”, yang tak akan pernah terjadi di Indonesia.
Langkah berikutnya adalah mencari waktu yang tepat untuk berdiskusi dengan orang tua. Sampaikan dengan tulus bahwa ada hal penting yang perlu dibicarakan, keinginan yang betul-betul dari dalam hati.
Sophie menegaskan bahwa pada dasarnya orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, dan tidak ingin menyakiti anaknya. Ia juga menegaskan bahwa dialog untuk menemukan “middle ground” itu bukan untuk cari aman, tetapi untuk benar-benar menemukan pemahaman bersama.
Trik dan Pengalaman Jebung
Bila Sophie mengungkapkan pandangannya cenderung dari sudut pandang orang tua, lain halnya dengan Jessica Bunga alias Jebung. Penyanyi dan content creator ini juga mengalami situasi yang nyaris sama persis dengan siswa SMA itu.
Sebelum berlanjut, mungkin Anda bertanya-tanya mengapa Jebung tiba-tiba bertemu dengan Sophie Navita, membahas topik seputar passion, pengalaman kuliah, dan karier.
Jadi, mereka berdua adalah narasumber talkshow dalam rangkaian acara “Maranatha Vaganza” di kampus Universitas Kristen Maranatha, Bandung (18-20/7/2024). Acara open house ini dihadiri oleh ribuan siswa SMA dan sederajat dari puluhan sekolah di Jabar dan Jateng.
Jebung juga berkesempatan menampilkan beberapa lagu andalannya, bernyanyi bersama para fans siswa-siswi sekolah dan mahasiswa-mahasiswi Maranatha, sedangkan Sophie menyempatkan “meet and greet” seusai talkshow.

Dalam sesi talkshow, Jebung menceritakan bahwa orang tuanya dulu juga tidak setuju dengan jurusan kuliah yang ia inginkan. Saat itu Jebung berkeinginan kuliah jurusan film dan televisi, sedangkan orang tuanya menginginkan ia kuliah jurusan ekonomi.
“Awalnya sempat berantem,” kenangnya.
Wajar, karena saat itu ia sedang memperjuangkan keinginannya, di usia yang memang sedang menggebu-gebu. Lama-kelamaan ia menyadari bahwa permasalahannya adalah ia tidak mengerti apa yang dipikirkan orang tuanya, dan sebaliknya, orang tuanya juga tidak mengerti apa yang ia maksudkan.
Setelah melalui proses dialog yang makan waktu lama, mereka menemukan “middle ground”. Bukan jurusan film, juga bukan jurusan ekonomi, Jebung akhirnya lanjut studi advertising di jurusan ilmu komunikasi. Nyatanya, Jebung merasakan bahwa jurusan inilah yang paling tepat dan sangat nyambung dengan profesinya.
“Yang sulit adalah dialognya, … dialog ini ngga bisa dilakukan sekali doang,” kata Jebung. “Kamu harus turunin ego, kontrol emosi, karena ini topik yang sangat emosional,” ujarnya sambil menasihati.
Benar adanya bahwa topik mengenai masa depan adalah hal yang sangat penting bagi si anak. Masuk akal juga bila si anak menjadi emosional. Namun, di sisi lain, masa depan anak pun merupakan hal yang sangat penting bagi orang tuanya.
Baca juga → Cara Belajar Anak Kuliahan Beda dengan SMA, Calon Mahasiswa Jangan Kaget!
Passion atau Purpose?
Mengakhiri tulisan ini, kita lanjutkan bahasan sekilas perihal passion dan purpose menurut Sophie Navita. Kedua istilah ini kadang-kadang terlihat kabur. Ada orang yang menganggap pekerjaannya mengikuti passion, padahal mungkin sebetulnya itu adalah purpose.
Menurut Sophie, cara membedakannya adalah dengan melihat apakah yang kita kerjakan itu membuat kita sukacita. Bila ya, kemungkinan besar itu adalah purpose, bukan passion. Purpose adalah sesuatu yang membuat kita tenang, damai, dan sukacita saat mengerjakannya, walaupun tidak dibayar.
Sophie menjelaskan kedua hal itu melalui contoh pengalaman hidupnya. Ketika menjadi MC, menyanyi, atau main film, ia mengharapkan bayaran yang sepadan dengan waktu, skill dan jam terbangnya yang sudah tinggi.
Lain cerita ketika ia menulis buku. Ia tidak masalah dengan royalti yang besarannya tak seberapa. “Yang penting apa yang ada di kepala dan hati saya, yang Tuhan sudah taruh di sana, harus bertelur dan harus ditetaskan,” ungkapnya.

Bagi Sophie Navita menulis buku adalah purpose, sedangkan profesinya dalam dunia entertainment adalah passion.
Berarti ada kemungkinan kita tidak dapat hidup dari purpose saja, karena purpose belum tentu menghasilkan uang. Dengan demikian, kita juga perlu memiliki dan mengembangkan passion. Alangkah baiknya bila kita dapat berkarier dan bekerja seuai passion itu.
Lalu, apa hubungannya pendidikan dengan passion dan purpose?
Menurut prinsip Sophie, pendidikan minimal sampai tingkat sarjana merupakan struktur yang mendasari kita dalam mengembangkan passion dan purpose. Oleh karena itu, menentukan jurusan studi yang paling sesuai sangatlah penting untuk masa depan kita.
(is)
foto atas: IG @sophienavita
editor: MA
Baca topik lainnya tentang dunia pendidikan → Seputar Kampus