Pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai diberlakukan di beberapa wilayah di Indonesia, walaupun masih bersifat terbatas. Namun cukup disayangkan, dalam pelaksanaannya ternyata memunculkan klaster baru Covid-19. Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito dalam konferensi pers 23 September 2021 mengingatkan satuan pendidikan agar dapat melaksanakan PTM secara hati-hati dan selalu mengutamakan kesehatan para peserta didik dari penularan Covid-19.
Pemberlakuan PTM saat ini memang masih pro-kontra. Ada pihak yang berpendapat PTM masih terlalu berisiko untuk dilaksanakan mengingat masih ada potensi meningginya kasus Covid-19. Namun di pihak lain, tidak sedikit juga pelaku pendidikan terutama siswa, orang tua, dan guru atau dosen yang merasa PTM harus segara dilaksanakan karena pembelajaran jarak jauh (PJJ) dirasa kurang efektif dan membuat jenuh, bahkan stres.
Beberapa survei dan penelitian mengenai PJJ yang dilakukan satu hingga dua tahun terakhir menemukan adanya masalah yang dialami siswa selama melaksanakan PJJ. Masalah tersebut di antaranya adalah siswa yang mengalami stres; mengalami rintangan akademik; dan menurunnya tingkat partisipasi siswa. Hal ini ternyata tidak hanya dirasakan oleh para siswa saja. Guru dan dosen pun mengalami rintangan dan kendala saat menjalankan PJJ.
Pembelajaran Tatap Muka (PTM) vs Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
Terlepas dari kendala-kendala yang dialami oleh siswa maupun pendidiknya, PJJ telah menghadirkan suatu metode dan budaya pembelajaran baru. Beberapa hal positif misalnya adalah pembelajaran yang tidak terikat lokasi sekolah atau kampus, sehingga dapat dilakukan di mana pun; juga penggunaan waktu yang lebih efisien karena siswa, guru, mahasiswa, dan dosen tidak perlu menghabiskan banyak waktu di jalan dan menghadapi kemacetan saat menuju ke sekolah atau kampus.
Anton Sutandio, dosen di Universitas Kristen Maranatha dalam tulisannya yang berjudul “Dicari: Mental Tangguh” membuat skenario untuk membandingkan PTM dan PJJ. Skenario pertama, seorang mahasiswa atau dosen harus bangun pukul 05.30 karena ada kelas pada pukul 07.30. Jarak dari rumah ke kampus adalah 15 km. Seperti biasa, lalu lintas pada jam sibuk pagi hari bisa dipastikan macet.
Skenario kedua adalah skenario kelas virtual. Sang mahasiswa atau dosen itu bisa saja bangun 10 menit sebelum kelas dimulai, atau sekitar pukul 07.20. Kemudian, ia membuka laptop yang berjarak hanya semeter dari tempat tidurnya, dan memulai kelas. Dalam skenario kedua ini ia tidak perlu bangun terlalu pagi, dan tidak perlu menghadapi macet rutin.
Kedua skenario tersebut memang contoh sederhana yang tidak memasukkan variabel lain, tetapi setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran bahwa PJJ sebetulnya bisa memberikan manfaat juga. Pertanyaannya, mengapa terdapat banyak guru, dosen, murid, dan mahasiswa yang merasa tidak dapat maksimal dalam melaksanakan PJJ?
Jawabannya adalah masalah mentalitas.
Secara fisik kita dapat beradaptasi dengan baik dan cukup cepat, tetapi tidak semudah itu dalam hal mental. Dalam pembelajaran tatap muka di ruang kelas, ketangguhan mental muncul karena adanya peer pressure yang membuat mahasiswa dipaksa disiplin. Namun, tekanan ini berkurang bahkan hilang dalam ruang kelas virtual. “Oleh sebab itu, dibutuhkan usaha lebih keras dari masing-masing individu untuk dapat mendisiplinkan dan memotivasi diri ketika motivasi kolektif serta tekanan yang biasa muncul dalam ruang kelas tradisional menghilang dalam kelas virtual,” tulis Anton dalam esainya.
Baca juga → Pembelajaran Jarak Jauh Bikin Siswa Stres, Pengajaran Ideal Jadi Solusi
Melawan Penyangkalan
Perubahan besar sebagai dampak dari pendemi Covid-19 adalah hal yang tidak terelakkan. Perubahan yang begitu cepat dan drastis ini telah menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian besar masyarakat dan pelaku dunia pendidikan. Kondisi ini memicu mekanisme defensif manusia, yaitu melalui penyangkalan. Dalam teori psikoanalisis, penyangkalan merupakan salah satu mekanisme defensif manusia untuk menghindarkan diri dari kondisi yang tidak menyenangkan.
Penyangkalan terjadi juga dalam diri mahasiswa dan dosen, ketika dihadapkan pada kondisi tidak menyenangkan, yaitu berubahnya cara pembelajaran yang begitu ekstrem dan terpaksa. Mereka yang tidak bisa beradaptasi dengan cepat, pasti akan mengalami situasi penyangkalan. Mereka pun akan merasakan rintangan dan kendala yang jauh lebih berat dan akhirnya meluapkan ketidakpuasannya atas metode pembelajaran yang baru tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa tantangan terbesar dosen dan mahasiswa dalam masa pandemi ini adalah tantangan mental: bagaimana memupuk dan mengembangkan ketangguhan mental untuk dapat beradaptasi dalam kondisi yang sulit.
Anton Sutandio
Ketangguhan mental terkait erat dengan pikiran dan pola pikir optimis. Di samping itu, sikap terbuka terhadap perubahan akan membantu menumbuhkan mentalitas yang kuat. Mengutip G. B. Shaw, seorang dramatis Inggris, “Mereka yang tidak dapat mengubah pikirannya tidak akan pernah dapat mengubah apa pun.”
Anton menutup esainya dengan ajakan, “Mari kita tumbuhkan ketangguhan mental dengan terus maju, bahkan ketika kita dipenuhi rasa takut, kuatir atau malas, serta tetaplah menjaga integritas, kasih, dan keprimaan dalam segala tindakan kita.”
(@m.news)
ilustrasi foto atas:
“It’s Coffee and Read, Not Covid and RIP” oleh Agustina Sefrina Dwi Anggraini
(sumber: majalah M! Edisi 15)
Baca topik lainnya tentang dunia pendidikan → Seputar Kampus
Kenapa tidak disukai, karna kelas virtual membosankan
kampus sehat
Setujuh! Kelas virtual rasanya ngga seperti kuliah betulan