Manusia memang nyampah. Setiap orang Indonesia sehari-harinya menghasilkan kira-kira 0,68 kilogram sampah. Sepanjang tahun 2020, setiap hari 270 juta penduduk Indonesia telah memproduksi 185.753 ton sampah. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini mencatat, jumlah totalnya dalam satu tahun adalah 67,8 juta ton. Bila semua sampah ini dijejalkan dalam kontainer, akan membutuhkan sebanyak 2,5 juta kontainer 40 feet. Tidak heran, sampah sebanyak itu menggunung di TPA-TPA.
Bayangkan seandainya yang dimuat 2,5 juta kontainer itu adalah komoditas berharga dan bernilai tinggi. Pasti terbayang berapa nilai ekonomisnya. Sayangnya, sampah bukan komoditas berharga, dan selama ini dibuang begitu saja. Dibuang bukan berarti lenyap, tetapi malah sering kali menimbulkan masalah. Di Bandung, sampah pernah berulah menjadikan kota kembang sebagai “Bandung Lautan Sampah”.
Baca juga → Lagi-Lagi Telan Korban, Betulkah Jalan Tol Indonesia Tak Aman?
Manusia Si Hebat
Manusia memang hebat. Manusia sangat pintar memanfaatkan semua sumber daya alam yang ada di bumi ini. Mulai dari sumber mineral berharga, lalu sumber energi dari fosil, sampai semua sumber daya baik di dalam tanah maupun di permukaan bumi ini, dapat diberdayakan maksimal.
Dua kemampuan manusia itu—nyampah dan eksploitatif—bila digabungkan ternyata menyeramkan. Saat ini saja, masalah sampah sudah membuat pusing banyak pihak, dan akan semakin membuat pusing pada tahun-tahun berikutnya. Demikian pula sumber daya tak terbarukan yang cadangannya semakin menipis karena terus-terusan dieksploitasi. Tinggal menunggu waktu saja energi fosil benar-benar habis. Tentu, yang akan dirugikan besar-besaran adalah cucu-cicit generasi penerus masa depan.
“Bumi macam apa yang hendak kita wariskan kepada generasi baru sesudah kita hidup, kepada anak-anak yang sedang bertumbuh?”
Pope Francis
Gugatan Ego vs Eco
Pertanyaan pedas itu disampaikan oleh Paus Francis dalam ensiklik tertanggal 24 Mei 2015, berjudul “Laudato Si’: On Care for Our Common Home”. Romo Pilifus Junianto menyebut pertanyaan itu menyentuh makna eksistensial hidup dan nilai-nilai sosial dari hidup itu sendiri. Pilifus yang juga seorang akademisi dan ketua STIE Bentara Persada, Batam mengungkapkan ada dua gugatan Paus Francis dalam ensiklik yang dipublikasikan resmi pada 18 Juni 2015 tersebut.
Santo Fransiskus dari Assisi (1182-1226) menggambarkan bumi pertiwi ini bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita manusia, dan seperti ibu yang jelita, yang menyambut kita dengan tangan terbuka. Menyitir nyanyian indah itu, Paus Francis kemudian mengungkapkan gugatannya. “Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya.”
Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Padahal, lanjutnya, tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.

Saat ini manusia si hebat itu memosisikan dirinya di puncak segitiga, seakan-akan berkuasa atas bumi dan segala isinya. Ini adalah sebuah pemikiran yang menggambarkan bahwa si hebat itu adalah makhluk yang egois. Menelaah gugatan Paus Francis, seharusnya gambaran posisi manusia di tengah alam ini adalah bagian dari lingkaran utuh, manusia dan semua isi alam berada di dalam lingkaran bumi pertiwi.
Balasan Sang Alam
Manusia boleh saja mengedepankan egonya. Namun ingat, cermati, dan lihat, bahwa alam ini bisa membalas. Kita tentu sudah tahu dan pernah melihat, bahwa ketika sang alam sudah membalas, manusia pasti tidak berdaya. Ego manusia membuang dan menumpuk sampah sampai menggunung, dibalas sang alam dengan banjir di mana-mana, dan ledakan metana gunung sampah, menimbun beberapa kampung (TPA Leuwigajah, Februari 2005). Itu baru dua contoh kecilnya saja. Alam bisa bertindak jauh lebih dahsyat.
Gugatan Paus Francis yang kedua berkaitan dengan keberlangsungan dan keberlanjutan alam. Ia menuliskan, “Kita belum berhasil mengadopsi model produksi yang melingkar, yang mampu melestarikan sumber-sumber daya untuk generasi sekarang dan masa depan, dengan membatasi sebanyak mungkin penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan, meminimalkan penggunaannya, memaksimalkan penggunaan yang efisien, dengan cara penggunaan kembali dan daur ulang…”
Permasalahan sampah dan tata kelolanya saat ini sudah menjadi masalah besar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di level global. Sudah jelas, permasalahan sampah dan lingkungan hidup tidak bisa diselesaikan hanya bergantung pada pemerintah saja. Semua anggota masyarakat dan semua manusia perlu bertanggung jawab terhadap bumi yang kita tempati bersama ini.
Romo Pilifus mengatakan bahwa manusia perlu melakukan “pertobatan ekologis” dan menjadi manusia yang ekologis, yaitu manusia yang berusaha menemukan “wajah” Allah dalam sesama dan alam ciptaan-Nya. Tidak perlu muluk-muluk dan sulit, ada banyak cara bagi manusia untuk mulai peduli dengan lingkungan, mengurangi ego dan memosisikan diri di dalam “lingkaran eco”.

Eco-Enzim Banyak Manfaat
Ia mencontohkan dua cara yang cukup sederhana, yaitu dengan penerapan biogas dan eco-enzim. “Teknik biogas dan eco-enzim pada prinsipnya sama, yaitu fermentasi,” jelasnya dalam kegiatan workshop “Waste Management: Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dengan Teknik Fermentasi dan Pengomposan” di Universitas Kristen Maranatha, Bandung (13/11/2021).
Romo Pilifus giat melakukan sosialisasi penggunaan biogas dan eco-enzim yang ramah lingkungan. Ia mengajak masyarakat untuk bisa mengurangi ketergantungan manusia terhadap energi fosil yang tak terbarukan. Sebagai alternatifnya, biogas dapat digunakan dengan manfaat yang sangat besar.
Biogas dihasilkan dari proses fermentasi dalam skala yang lebih besar dibandingkan dengan eco-enzim rumah tangga. Biogas mudah terbakar, bersih tanpa asap, dan nyala apinya lebih panas daripada bahan bakar tradisional, bisa mencapai suhu pembakaran hingga 750 derajat celcius. Energi biogas juga bisa dikonversi untuk menghasilkan listrik. Limbah hasil pengolahan biogas pun banyak manfaatnya, seperti untuk pupuk organik dan bio-pestisida.

Pada skala yang lebih kecil, yaitu di lingkungan rumah tangga, Pilifus mendorong pemanfaatan eco-enzim. Gagasan yang melandasi eco-enzim adalah pengolahan enzim dari sampah organik yang biasanya dibuang ke tong sampah. Gagasan ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Rosukon Poompanvong, Pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand.
Eco-enzim adalah hasil fermentasi limbah dapur organik seperti ampas buah dan sayuran, ditambah molases atau gula, dan air. Komposisi dari tiga komponen itu masing-masing adalah 3 bagian sampah organik, 1 bagian gula (bisa dari gula merah atau gula tebu), dan 10 bagian air.

Membuat eco-enzim di lingkungan rumah tangga ternyata tidak sulit. Campuran dari ketiga bahan tersebut dimasukkan ke dalam botol plastik bekas, kemudian didiamkan selama tiga bulan dalam suhu ruang, tidak terkena sinar matahari langsung. Hasil dari proses tersebut adalah enzim organik yang banyak manfaatnya.
Dari Sampah Menjadi Berkah
Eco-enzim dapat digunakan sebagai deterjen, pembersih lantai, pelembut pakaian, pengharum ruangan, pengusir serangga, antiseptik, dan pupuk organik. Semua manfaat itu sifatnya ramah lingkungan.
Membuat enzim dari sampah adalah salah satu cara manajemen sampah yang sederhana. Prosesnya memanfaatkan sisa-sisa bahan dapur untuk menghasilkan sesuatu yang sangat bermanfaat, dan bahkan bisa bernilai jual juga.
Tidak saja banyak manfaat, bila kita membuat eco-enzim, berarti kita juga telah membantu mengurangi tumpukan sampah di TPA. Sebagian saja yang bisa kita kurangi dari 0,68 kilogram sampah kita masing-masing setiap hari, sudah sangat baik untuk upaya kita berteman dengan alam, menjadi manusia ekologis. Sudah saatnya sampah tidak melulu jadi masalah. Kita bisa membuatnya menjadi berkah.
(@iwan.s)
Konten yang informatif. Kunjungi https://unair.ac.id/