Tepat pada bulan Januari tiga tahun lalu (2016) Teras Cikapundung resmi dibuka. Saat peresmian itu Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menceritakan mimpinya, wisata sungai layaknya di Venesia. Tiga tahun berlalu, bagaimana wajah Teras Cikapundung saat ini?
Pergantian tahun baru saja berlangsung. Saat ini kita sudah memasuki tahun 2019. Sabtu pagi minggu pertama Januari, beberapa warga kampus Maranatha bersama komunitas penulis MWRC (Maranatha Writers and Readers Club) berkunjung ke Teras Cikapundung. Membuka tahun dengan bercengkerama di Teras Cikapundung terasa sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dengan hari-hari biasanya. Pagi itu Teras Cikapundung cukup ramai dikunjungi warga Bandung. Pengunjung semakin ramai ketika hari beranjak siang.
Berdiam diri sejenak di dekat panggung amfiteater, sejuknya udara pagi terasa menerpa kulit, menyegarkan. Udaranya terasa lebih segar dibandingkan udara jalanan, padahal lokasi Teras Cikapundung ini sangat dekat dengan jalan utama Siliwangi. Bagi pengguna kendaraan pribadi—khususnya mobil—yang baru pertama kali ke sini, pintu masuknya mungkin terlewat, karena memang tidak terlalu besar, dan menikung tajam lalu menurun ke bawah. Dari arah Jalan Siliwangi, Teras Cikapundung terlihat ditandai jembatan merah yang sangat menarik perhatian.
Para pengunjung mulai terlihat berdatangan sekitar pukul delapan. Ada para pesepeda yang mampir untuk beristirahat, ada keluarga yang sengaja datang untuk berjalan-jalan, ada juga serombongan anak sekolah yang berekreasi bersama. Rupanya jembatan merah yang menghubungkan sisi selatan dan sisi utara sungai, menjadi tempat berfoto favorit bagi kebanyakan pengunjung.
Baca juga → Jangan Asal Jepret, Yuk Bikin Fotomu Bercerita!
Melintas di atas jembatan ini, ke arah barat kita bisa melihat pemandangan Sungai Cikapundung ke arah hulu. Di tepi kiri dan kanannya ada bagian yang rimbun dengan pepohonan. Bila memandang ke arah timur, kita dapat melihat aliran Sungai Cikapundung membelah permukiman warga menuju hilir, melewati kolong jembatan Jalan Siliwangi.
Memandang ke arah bawah, jelas terlihat air Sungai Cikapundung. Sayang sekali pagi itu air sedang surut. Setengah lebar sungai tampak kering bebatuan dasarnya. Sepertinya air yang surut ini juga menyurutkan minat para pengunjung untuk bermain wahana perahu karet yang tersedia. Tidak banyak yang memanfaatkannya.
Lain halnya dengan “Kolam Tujuh Kura”, kolam terapi ikan ini ramai pengunjung. Laki-laki, perempuan, orang dewasa, hingga anak-anak tampak berjajar menenggelamkan kaki mereka di sisi kolam, menghadap tujuh patung kura-kura. Air kolam yang dingin dipadu angin pagi yang sepoi-sepoi tentu terasa nyaman.
Di dekat kolam ini terdapat sumur kecil yang menampung air dari salah satu mata air. Bebatuan kecil yang tampak jelas di dasar sumur menandakan betapa jernihnya air dari mata air ini. Begitu jernih dan menyegarkan.
Melihat air di sumur itu, dan membandingkannya dengan air yang mengalir di sungai, bagaikan membandingkan bumi dan langit. Air sungai yang melintasi Teras Cikapundung pagi itu tampak hijau kecoklatan. Bila diamati, bungkusan sampah dan popok bekas rutin melintas. Jumlahnya memang tidak banyak, tetapi cukup mengganggu pengalaman berwisata yang sempurna. Tidak hanya di sungai, sampah plastik sisa makanan dan minuman pengunjung juga terlihat di beberapa titik kawasan Teras Cikapundung ini.
Diceritakan oleh R. Sugiatno, yang akrab disapa Wa Cadok, pengelola kawasan Teras Cikapundung sekaligus Ketua Komunitas Cikapundung, bahwa untuk menjaga kebersihan sungai dan kawasan wisata, masyarakat sekitar rutin melakukan pembersihan sampah. Para pengunjung yang menikmati Teras Cikapundung ini memang belum sepenuhnya sadar diri mengenai sampah. Ada saja yang masih membuang sampah sembarangan.
Baca juga → Sampah Oh Sampah, Jadilah Berkah Jangan Masalah
Dukung Citarum Harum
Teras Cikapundung berhasil mengubah pemandangan kumuh yang tadinya dihindari, menjadi tempat wisata yang menarik banyak orang untuk datang. Teras Cikapundung juga telah mendorong masyarakat untuk lebih mencintai sungai dan melestarikannya.
Memang Teras Cikapundung ini hanyalah satu bagian kecil dari program restorasi Sungai Cikapundung, dan tentunya tidak dapat serta-merta menyelesaikan permasalahan sungai yang sebetulnya sangat kompleks. Namun program revitalisasi Teras Cikapundung ini, yang disebut sebagai percontohan nasional restorasi sungai, dapat diterapkan dalam skala yang lebih besar.
Teras Cikapundung bukan hanya pembenahaan fisik bantaran sungai saja, tetapi juga program pemberdayaan masyarakat dalam sebuah wahana konservasi, wisata ekologi, dan edukasi.
Cikapundung sebagai salah satu anak sungai Citarum, tentu memiliki andil cukup besar dalam upaya pemulihan sungai Citarum yang saat ini sedang digalakkan. Bila Cikapundung telah benar-benar bersih seperti yang diimpikan, pasti program Citarum Harum juga akan selangkah lebih dekat dengan kenyataan.
(Iwan Santosa)
Tulisan ini terbit di harian Kompas, 28 Januari 2019 (Griya Ilmu Jawa Barat, hal. 16)
foto atas: Iwan Santosa
Konten yang informatif. Kunjungi https://unair.ac.id/