The Masks 2020 (© Iwan Santosa)

Jangan Asal Jepret, Yuk Bikin Fotomu Bercerita!

Zaman now, semua orang bisa memotret. Anak kecil yang belum fasih bicara pun sudah bisa memotret. Terima kasih pada teknologi yang semakin canggih dan mudah. Terima kasih juga pada Instagram dan semua medsos yang memudahkan para netizen berbagi foto.

Fotografi saat ini telah begitu banyak berubah dibandingkan dengan masa awal penemuannya, sekitar dua abad yang lalu. Dua dekade belakangan fotografi berkembang semakin drastis setelah merebaknya fotografi digital dan begitu pesatnya industri gadget.

Hari ini semua orang punya kamera dalam genggaman. Semua hal difoto! Mau makan pun diawali dengan ritual foto. Kurang kekinian kalau kulineran di kafe tanpa foto-foto terlebih dahulu!

Mungkin netizen jaman now lebih banyak memotret daripada menulis, apalagi para instagrammers. Semakin mudahnya proses mengambil foto dan semakin mudahnya cara membagikannya kepada orang lain telah mengubah wajah kebudayaan manusia modern.


Artikel ini membahas:


Mengapa Memotret?

Manusia modern tidak perlu alasan untuk memotret, karena saking mudahnya memotret. Mengambil foto saat ini semudah menekan satu tombol. Sangat kontras dengan era sebelum adanya smartphone berkamera, proses memotret waktu itu perlu upaya dan niat yang lebih besar.

View from the Window at Le Gras (Niepce 1927)
“View from the Window at Le Gras” (1827) menampilkan pemandangan dari jendela kamar Nicéphore Niépce sang penemu fotografi. Ia merekam gambar itu selama delapan jam menggunakan camera obscura, prosesnya disebut heliography. (sumber: University of Minnesota)

Tidak perlu dijelaskan lagi untuk apa saja manusia modern saat ini memotret. Mulai dari mengingat-ingat tempat parkir hingga malas mencatat tulisan guru atau dosen di papan tulis; mulai dari foto-foto selfie setiap hari sampai foto-foto liburan untuk kenang-kenangan.

Fotografi memang telah menjadi cara paling mudah untuk merekam dan mengabadikan segala hal. Itulah alasan yang paling mendasar, karena fotografi sejatinya adalah media untuk merekam.

Warganet jaman now juga banyak yang mendefinisikan diri sebagai visual story-teller. Mereka memenuhi postingan medsos dengan foto-foto untuk menceritakan aktivitas dan ketertarikan mereka pada bidang yang mereka sukai.

Baca juga → Ramai OVO Dicabut dan Facebook Hilang dari IG, Segitunya Arti Sebuah Nama?

Satu Foto Seribu Kata

Terlepas dari begitu mudahnya membuat foto saat ini, sebuah foto menjadi ada karena ada orang yang membuatnya. Sekalipun hanya untuk menyalin catatan di papan tulis agar mudah dilihat kembali, si pembuat foto pasti punya maksud dan tujuan.

Kalimat “satu foto bernilai seribu kata” itu benar adanya. Ada hal-hal yang jauh lebih mudah kita pahami ketika melihat foto, daripada membaca uraian tulisan.

Coba baca dengan seksama kalimat berikut ini.

Si merah seolah memanggil-manggil.

Kulitnya yang berkilauan tampak mulus,
berhiaskan bintik dan bulu-bulu halus.

Kelopak daunnya masih hijau,
batangnya masih menancap kuat.

Dua buah merah itu begitu ranum.

Pasti mereka baru saja dipetik
dari perkebunan terbaik.

Diterpa hangatnya sinar mentari,
si merah semakin menggoda.

Bayangkan menikmatinya siang nanti.

Kalimat itu menceritakan buah stroberi. Bukan sembarang stroberi, tapi stroberi pilihan yang ciri-cirinya disebutkan dalam kalimat dramatis itu. Sebuah kalimat yang cukup panjang, hanya untuk menggambarkan stroberi melalui sebuah tulisan.  

Menggambarkannya dalam bentuk foto mungkin akan jauh lebih gampang, dan pasti akan lebih mudah dipahami. Perhatikan foto berikut ini.

Strawberries (© Iwan Santosa)
“Strawberries”
(foto: Iwan Santosa)

Foto di atas adalah foto yang sangat sederhana, hanya foto buah stroberi saja. Yang ingin disampaikan oleh foto itu hanyalah buah stroberi yang begitu segar.

Terlihat sangat menggoda, kan? Itulah kemampuan satu frame foto.

Kalimat di atas hanya sekitar 50 kata saja. Tulisan itu belum menyebutkan tentang empat buah stroberi yang tampak blur di bagian belakang, lalu meja kayu yang garis-garis teksturnya terlihat alami, lalu detail-detail lainnya.

Bila semua hal yang ada dalam foto itu dituliskan semuanya, mungkin memang perlu seribu kata.

Strawberry Cake (Studio Fotokom, 2011)
Foto ini menampilkan stroberi juga, tetapi pesan utamanya bukan tentang buah stroberi. (foto: Iwan Santosa, Studio Fotografi Komersial FSRD Maranatha)

Asal Jepret

Pastinya tidak. Foto itu dibuat dengan sengaja, bukan hanya sekadar diambil karena terlihat lucu, imut, dan menggemaskan. Foto itu sengaja dibuat dengan maksud dan tujuan spesifik, yaitu untuk menceritakan betapa segarnya buah-buah stroberi itu.

Inilah konsep dasar bercerita melalui foto. Ada suatu ide, gagasan, atau hal menarik lainnya yang ingin diceritakan oleh si fotografer kepada khalayak, menggunakan fotografi sebagai mediumnya.

Literacy in the Pandemic (© Andrea Warwey)
“Literacy in the Pandemic”
(foto: Andrea Stella F. Warwey, majalah M! Vol. 3 No. 6)

Konsep ini agak berbeda dengan foto snapshot yang sifatnya spontan. Foto snapshot biasanya diambil tanpa perencanaan, bahkan tanpa memperhatikan unsur-unsur artistik atau maksud yang jelas, selain untuk mengabadikan suatu kejadian. Foto-foto seperti ini tentu bermakna bagi si pemotret, tapi belum tentu bermakna bagi khalayak yang lebih luas.

Ada yang berpendapat cukup ekstrem bahwa snapshot bukanlah fotografi. Oleh karena itu, tidak semua orang yang bisa memotret disebut fotografer. Ini mirip dengan penyanyi, tidak semua orang yang bisa menyanyi disebut sebagai penyanyi.

Semua orang bisa mengambil foto, tetapi tidak semua orang bisa membuat foto. Betul juga! Yang pasti, sebuah foto yang bercerita tentu bukanlah foto “asal jepret.”

Literacy in the Pandemic (© Elvina)
“Literacy in the Pandemic”
(foto: Elvina, majalah M! Vol. 3 No. 6)

Fotografi diciptakan pertama kali sebagai medium untuk merekam suatu kejadian atau apa pun yang ada di depan kamera. Lebih dari itu, fotografi berkembang sebagai medium untuk berkomunikasi secara visual. Sebuah foto mengkomunikasikan pesan yang dibuat oleh si pembuat foto, kepada khalayak pemirsanya.

Sebuah foto yang bercerita adalah seribu kata yang bermakna; bukan sekadar mengabadikan, bukan sekadar merekam, bukan hanya informatif, dan bukan hanya indah semata.


ke Daftar Isi ↑

Foto Esai

Bila satu foto saja bisa menggambarkan seribu kata, bayangkan apa yang bisa diceritakan melalui serangkaian foto. Istilah kerennya adalah photo story atau photo essay. Ada juga yang menyebutnya photo series. Ini adalah salah satu jenis karya fotografi berupa story-telling secara visual.

Photo essay (foto esai atau esai foto) merujuk pada karya fotografi yang menggunakan serangkaian foto untuk menceritakan suatu cerita atau gagasan. Keseluruhan karya foto itu membentuk satu kesatuan pesan.

Sekilas melirik sejarah, istilah photo essay dipopulerkan oleh Henry R. Luce, founder majalah LIFE, sementara photo story atau picture story dipopulerkan oleh Daniel D. Mich, vice-president dan editorial director majalah Look. Kedua majalah terkenal itu tidak mencetak banyak kata untuk bercerita, tetapi menyampaikan story-telling dalam bentuk rangkaian foto. Henry R. Luce menyebutkan bahwa foto adalah medium yang sangat kuat untuk menyampaikan cerita.

Country Doctor (W. Eugene Smith, 1948)
Foto esai berjudul “Country Doctor” karya W. Eugene Smith dipublikasikan di majalah LIFE (1948). Karya foto esai ini mengukuhkannya sebagai master of the photo essay.
(sumber: majalah LIFE, 1948)

Kekuatan Rangkaian Foto

Kekuatan visual yang dimiliki fotografi untuk menyampaikan pesan sangatlah besar. Masyarakat pada umumnya lebih mudah menangkap pesan dan cerita yang disampaikan melalui foto.

Ada hal-hal yang tidak dapat disampaikan secara tertulis, ada faktor-faktor komunikasi yang hanya bisa disampaikan dengan baik melalui foto. Contohnya adalah unsur emosi dan aktualitas.

Baca juga → Panduan Pemula: Mudah Menulis Berita ala Wartawan Siber

Namun demikian, tidak semua foto serta merta mudah dipahami. Tentunya foto-foto yang berhasil menyampaikan pesan dengan baik, adalah foto-foto yang memang dibuat oleh si fotografer agar dapat dipahami oleh khalayak.

Bercerita menggunakan medium fotografi pada dasarnya sama dengan bercerita menggunakan medium tulisan. Subjek atau objek foto, latar depan, latar belakang, gelap dan terang, bentuk dan warna, adalah sarana seorang fotografer untuk menyampaikan pesan seperti layaknya huruf, kata, kalimat, dan paragraf bagi seorang penulis.

Satu foto dapat diibaratkan satu paragraf tulisan. Satu cerita utuh terdiri dari banyak paragraf. Foto esai juga serupa, satu cerita utuh disampaikan melalui rangkaian beberapa foto.

Dapur Satu Suro (© Iwan Santosa)
Karya foto “Dapur Satu Suro” terdiri dari tiga frame foto dengan foto utama ditampilkan paling dominan. Kedua foto lainnya berfungsi memperluas cerita yang ingin disampaikan dalam foto utama. (foto: Iwan Santosa)

Pada tulisan esai, tidak mungkin satu paragraf bisa menyampaikan satu cerita utuh. Satu foto juga tidak mungkin menyampaikan satu cerita utuh. Berusaha memasukkan semua elemen cerita hanya dalam satu foto, pasti akan menghasilkan foto yang sulit dipahami oleh khalayak.

Foto esai banyak digunakan oleh media-media publikasi jurnalistik karena sangat efektif untuk menyampaikan berita dan cerita yang faktual. Foto esai juga banyak digunakan oleh para fotografer dan seniman visual untuk menyampaikan gagasan atau topik yang lebih bebas.


ke Daftar Isi ↑

Membuat Foto Esai

Foto esai dapat digunakan untuk menyampaikan cerita yang sederhana sampai yang kompleks sekalipun. Bagi yang belum terbiasa berkarya foto esai, atau bahkan belum pernah memotret secara “serius”, alias lebih sering memotret spontan menggunakan smartphone, bisa mulai membuat foto esai dengan topik yang sederhana.

Pengetahuan dan skill teknis fotografi yang baik tentu akan sangat membantu membuat visualisasi terbaik dari hal yang hendak kita ceritakan. Namun para pemula janganlah khawatir, karena kamera-kamera dan smartphone modern saat ini telah melakukan hal-hal sulitnya secara otomatis.

Bagi yang sudah menguasai teknis fotografi, prosesnya akan jauh lebih mudah, karena si fotografer bisa mencurahkan pemikirannya pada sisi kreatif. Hal-hal yang sifatnya teknis dapat dimanfaatkan untuk membuat visualisasi semakin kreatif guna memperkuat pesan.

Ketika membuat foto esai, perhatian utama si fotografer adalah bagaimana memvisualkan ide atau gagasan ke dalam foto yang akan dibuatnya. Perhatiannya tidak hanya untuk satu frame saja, tapi pada seluruh rangkaian fotonya.

Komposisi Adalah Fondasi

Hal paling prinsip dalam berkarya foto esai adalah faktor komposisi visual. Komposisi dalam sebuah foto, layaknya tata kalimat dalam sebuah paragraf. Bagaimana fotografer menempatkan subjek, latar belakang, latar depan, dan bagaimana susunan semua elemen gambar mengarahkan pandangan pemirsanya, itulah “paragraf” dalam sebuah cerita visual.

Manfaatkan kaidah-kaidah komposisi visual seperti framing, dominasi, harmoni, kontras, rule of third, simetri, dinamika, dan lain sebagainya, untuk membangun pesan yang ingin disampaikan. Dampak pengaturan teknis kamera seperti gelap-terang (exposure), warna cahaya (white balance), juga ruang tajam (depth of field) serta motion blur sering kali sangat membantu fotografer memperkuat kesan cerita.

Contoh ilustrasi foto berikut ini menggambarkan pentingnya pengaturan framing untuk menyampaikan pesan spesifik. Kedua foto ini sama-sama menampilkan uang koin seratus rupiah, tetapi maksud pesannya tidak sama.

Koin 100 Rupiah (close-up)

Gambar kakatua raja tampil di salah satu sisi koin seratus rupiah. Uang logam denominasi seratus rupiah ini mulai diedarkan tahun 1999.

Koin 100 (komparasi)

Koin “kakatua raja” terbuat dari aluminium, berdimensi kecil (diameter 23 mm, bobot 2,38 gram). Saat ini uang denominasi 100 rupiah hanya ada dalam bentuk koin. Uang kertas pecahan 100 rupiah sudah tidak beredar sejak 2011.

Mengatur komposisi pada karya foto esai pada dasarnya sama saja dengan mengatur komposisi saat membuat foto single. Bedanya, fotografer punya “kanvas” yang jauh lebih besar, tidak terbatas hanya satu bingkai saja. Oleh karena itu, pengaturan komposisi pun perlu memperhatikan keseluruhan rangkaian foto sebagai satu kesatuan.

Gunakan variasi komposisi untuk menciptakan dinamika penyampaian cerita. Ini mirip seperti mengatur penggunaan kalimat ketika kita bercerita melalui tulisan. Ada kalimat-kalimat yang santai, ada kalimat-kalimat yang intens. Bagaimana si penulis mengatur kalimat dan diksi, sangat berpengaruh pada pembawaan ceritanya.

Pengaturan elemen-elemen visual dalam setiap bingkai foto, dan bagaimana satu foto berelasi dengan foto lainnya, akan menentukan pembawaan cerita.


ke Daftar Isi ↑

Panduan Praktis Foto Esai

Langkah-langkah praktis berikut ini dapat menjadi panduan untuk membuat foto esai, khususnya bagi yang belum terbiasa membuatnya. Ini bukan rumus baku, tapi bisa membantu proses berkarya agar lebih sistematis.

Fotografer yang sudah terbiasa membuat karya foto esai biasanya sudah fasih, dan langkah-langkah ini pun sudah menjadi intuisi di luar kepala.

Tujuh langkah mudah membuat foto esai:

1. Menentukan Topik

Ini adalah langkah pertama yang langsung membedakan foto spontan dengan foto terencana. Membuat foto esai harus dimulai dari topik yang ingin diceritakan. Tidak ada batasan dalam hal ini, karena apa yang ingin diceritakan oleh seorang fotografer bisa mengenai apa pun.

Seorang pemula bisa mencoba membuat foto esai dengan topik hal-hal sederhana yang dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Bila Anda punya peliharaan kesayangan, dia bisa menjadi tokoh utama cerita Anda.

Bila Anda suka travelling, itu adalah topik yang sangat menarik untuk diceritakan dalam bentuk foto esai. Bila Anda penggemar kuliner dan suka mencoba makanan-makanan baru, itu juga bisa menjadi materi yang sangat menarik.

Membuat foto esai mengangkat hal-hal yang ada di sekitar kita, yang sudah kita kuasai dengan baik, adalah cara yang paling mudah untuk memulai berkarya. Bila sudah terbiasa, nantinya kita bisa membuat foto esai mengangkat topik-topik yang lebih “berat”.

Setelah menemukan topik yang akan dibahas, gali lagi dan pertajam topik itu.

Sebagai contoh, bila kita ingin membuat foto esai dengan topik kuliner, dari sisi mana kita akan bercerita? Apakah cerita ini tentang satu kedai legendaris yang sudah berdiri puluhan tahun turun-temurun?

Apakah ceritanya tentang macam-macam kuliner aneh yang ada di sebuah pasar? Apakah tentang suatu menu makanan spesial yang hanya ada di saat-saat tertentu saja? Pertajam lagi, dan cari hal-hal menarik dari sebuah topik.

2. Menyusun Alur

Setelah topiknya tajam, selanjutnya adalah memikirkan bagaimana kita akan menyampaikan cerita. Mulai dari mana cerita itu? Apa saja yang perlu diceritakan? Apakah ada bagian klimaks atau puncak ceritanya? Bagaimana akhir ceritanya?


Karapan Sapi: Siapa Kuat, Siapa Menang? (© Iwan Santosa)
Karapan Sapi: Siapa Kuat, Siapa Menang? (© Iwan Santosa)
Karapan Sapi: Siapa Kuat, Siapa Menang? (© Iwan Santosa)
Karapan Sapi: Siapa Kuat, Siapa Menang? (© Iwan Santosa)
Karapan Sapi: Siapa Kuat, Siapa Menang? (© Iwan Santosa)

ke Daftar Isi ↑

Alur foto esai sederhana berjudul “Karapan Sapi: Siapa Kuat, Siapa Menang?” bisa diuraikan sebagai berikut:

  • Bagian awal cerita disampaikan melalui foto pemandangan lapangan luas Stadion Giling, Sumenep, dan beberapa penonton yang tampak menunggu di pinggir lapangan.

  • Foto berikutnya menampilkan kerumunan orang-orang di sekitar garis start, sesaat sebelum pertandingan dimulai.

  • Klimaksnya adalah foto sapi berlari kencang, dan ekspresi joki yang sedemikian menegangkan.

  • Antiklimaksnya adalah foto satu tim saat kembali dari ujung lintasan, menuju titik awal untuk mempersiapkan sapinya mengikuti babak selanjutnya.

  • Foto-foto berikutnya menampilkan aktivitas yang cukup “panas”, ketika si sapi mengalami ujian terberatnya, yaitu olesan balsem dan ramuan cabe di bekas luka yang didapatkannya dari cambuk. Tujuannya, agar si sapi bisa berlari lebih kencang saat dipacu. Tradisi rekeng ini sempat menjadi pro-kontra karena dianggap sebagai penyiksaan.

  • Segmen foto berikutnya menampilkan si sapi diarahkan menuju garis start, dan bertanding sekali lagi.

  • Foto terakhir menampilkan bendera merah dikibarkan sebagai tanda pertandingan selesai. Foto ini menjadi penutup cerita pertandingan karapan sapi kebanggaan masyarakat Madura.

3. Rencana Visual

Alur cerita yang sudah kita rencanakan, kemudian perlu divisualkan. Bagaimana visualisasinya? Perlu berapa foto untuk menggambarkan satu bagian alur cerita? Seperti apa foto yang harus ditekankan sebagai foto utama? Apakah perlu foto-foto pendukung untuk memperkuat penyampaian cerita?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu dijawab dalam tahap perencanaan visual. Semakin detail kita merencanakan, semakin baik dan semakin siap kita menyajikan cerita. Bila belum bisa merencanakan sampai detail, setidaknya kita sudah harus tahu foto-foto seperti apa saja yang perlu diutamakan.

“Foto-foto seperti apa” adalah kunci dari visualisasi.

Ketika kita sudah punya gambaran itu dalam benak kita, maka proses membuat foto bisa dikatakan sudah 50% selesai, karena kita sudah tahu apa yang harus difoto. Selanjutnya tinggal menjepret saja sesuai gambaran itu.

Bila topik yang kita angkat cukup “berat” dan kompleks, serta perlu banyak foto untuk menyampaikannya, mungkin kita perlu membuat catatan bahkan sketsa, untuk memudahkan nanti saat pemotretan.

Catatan yang berisi daftar foto apa saja yang perlu dibuat oleh fotografer, disebut shot list. Sketsa-sketsa visual yang mendampingi shot list itu biasanya disebut storyboard—sama seperti storyboard yang di studio produksi film, tetapi lebih sederhana karena hanya untuk kepentingan si fotografer.

4. Saatnya Memotret

Setelah melakukan tiga tahap sebelumnya, di titik ini kita sudah siap memotret. Bila perencanaannya matang, tahap ini bisa berjalan dengan lebih mudah. Rencana yang sudah kita buat itu tinggal dieksekusi saja.

Tunggu dulu, dunia tak seindah itu.

Bisa saja rencana yang sudah bagus ternyata tidak sesuai dengan realita saat pemotretan. Namun setidaknya, bila perencanaan sudah matang, kita seharusnya lebih siap bermanuver untuk melakukan improvisasi.

Kesulitan yang biasanya terjadi saat pemotretan adalah tidak sesuainya kondisi kenyataan dengan apa yang sudah divisualisasikan sebelumnya. Apa yang ada di depan kamera bisa saja tidak sama dengan apa yang sudah kita bayangkan. Hal itulah yang menjadi perhatian seorang fotografer pada tahap ini.

Ia harus mencari cara agar apa yang sudah digambarkan dapat terwujud. Bila tidak bisa, ia harus mencari cara lain atau membuat foto alternatif yang masih sesuai dengan gambaran yang sudah direncanakan.

Checklist saat pemotretan:

  • Punya gambaran yang jelas mengenai foto seperti apa yang ingin dibuat.

  • Utamakan membuat foto-foto utama yang terpenting, dan perhatikan peluang membuat foto-foto pendukung untuk memperkuat cerita.

  • Komposisi perlu diperhatikan dengan cermat, tidak hanya untuk frame per frame saja, tapi juga kesinambungan rangkaian foto.

  • Teknis fotografi juga sangat perlu diperhatikan. Jangan sampai foto gagal karena kesalahan teknis.

  • Gunakan faktor teknis (misalnya pengaturan ruang tajam, motion blur, panning, bahkan noise dan distorsi) untuk tujuan kreatif yaitu memperkuat penyampaian pesan.

  • Bila foto yang dibuat adalah foto dokumenter berdasarkan kejadian nyata, atau pemotretan yang dilakukan dengan cara hunting di lokasi nyata, perhatikan adanya momen-momen yang tidak bisa diulang, sehingga perlu ketajaman insting dan kesiapan yang lebih matang.

Foto-foto utama yang terpenting, harus dikejar dan diutamakan. Jangan sampai foto utamanya gagal atau kelupaan difoto. Coba bayangkan foto karapan sapi di atas, apa jadinya kalau foto bagian balsem ternyata gagal—entah karena over-exposure atau blur gara-gara shutter speed terlalu rendah. Bila itu terjadi, ceritanya tidak akan bisa disampaikan dengan baik.

Bila foto-foto utama sudah berhasil dibuat, kita sudah relatif “aman”. Foto-foto pendukung dan foto-foto tambahan bisa dibuat dengan lebih leluasa.

Ingat-ingat, saat memotret pastikan pengaturan teknis sudah tepat semua. Jangan sampai foto yang dibuat ternyata tidak fokus, goyang, atau apa pun kegagalan lainnya. Bila pemotretannya di studio atau di rumah, mungkin kegagalan tidak terlalu masalah karena bisa diulang.

Namun bila fotonya jenis dokumenter yang berdasarkan kejadian nyata, mungkin saja ada momen yang tidak bisa diulang. Sayang kan, kalau sampai gagal hanya karena hal teknis.

5. Menyunting Foto

Tahap selanjutnya adalah menyunting rangkaian foto, atau lebih tepatnya menyunting cerita. Maksudnya bukan menyunting (mengedit) foto di Photoshop untuk post-processing. Menyunting pada tahap ini adalah memilih dan menyusun foto agar dapat menampilkan cerita dengan baik. Tentunya melakukan editing atau retouch masing-masing foto untuk koreksi teknis juga tetap diperlukan untuk memaksimalkan kualitas foto.

Tahap penyortiran dan penyuntingan ini akan menjadi tantangan cukup berat, khususnya bila saat kita memotret terjadi banyak hal di luar rencana. Entah karena terlalu asyik memotret sehingga foto yang dihasilkan terlalu banyak, atau justru karena kekurangan foto.

Bila foto yang telah diambil ternyata terlalu banyak, bahkan bagus-bagus semua, jangan tergiur untuk memasukkan semuanya dalam karya final. Tetaplah berpatokan pada cerita yang ingin disampaikan. Pilih dan rangkailah foto-foto yang bisa menyampaikan cerita paling efektif.

Kemampuan dan kejelian si fotografer menyunting dan merangkai foto menjadi suatu kesinambungan karya yang utuh, sama pentingnya dengan kemampuan memotret itu sendiri.

Foto-foto bagus yang dirangkai secara tidak bagus, mungkin tidak bisa menghasilkan foto esai secara maksimal.

6. Perkuat dengan Teks

Bercerita melalui foto esai, berarti bercerita secara visual. Namun, bukan berarti teks tidak diperlukan. Keberadaan teks masih penting untuk memberi arah atau menjadi koridor cerita, atau untuk memperjelas suatu hal yang sulit dipahami hanya melalui visual saja.

Kebutuhan adanya teks pada karya foto esai setidaknya adalah berupa judul. Keberadaan judul akan membantu penyampaian gagasan, membatasi atau memperluas pemahaman pemirsa agar menginterpretasikan cerita sesuai arah yang diharapkan.

Bila diperlukan penjelasan tekstual lebih banyak, karya foto esai bisa dilengkapi caption pada masing-masing foto, atau dengan memberi teks pengantar atau pendamping. Cara ini banyak diaplikasikan pada foto esai yang umumnya terbit di majalah.

Ingat, foto esai adalah karya visual.

Jadi, foto-foto dalam sebuah foto esai adalah medium utamanya. Teks hanya melengkapi saja, tidak mendominasi penyampaian cerita. Jangan terbalik.


ke Daftar Isi ↑

Fabriek Koffie Aroma (Dudi Sugandi)
Fabriek Koffie Aroma (Dudi Sugandi)
“Fabriek Koffie Aroma”
(foto dan teks: Dudi Sugandi/Pikiran Rakyat,
Pameran Esai Foto “200 Tahun Bandung”)

7. Penyajian

Tahap terakhir adalah penyajian atau presentasi. Pastikan urutan “membaca” rangkaian foto sesuai dengan alur cerita. Atur juga tata letaknya bila beberapa foto akan dikelompokkan menjadi satu bagian cerita. Beberapa foto dapat di-layout dalam satu halaman kolase untuk memperkuat penyampaian bagian cerita, mempermudah pemahaman, atau menambah estetika.

Bila karya ditampilkan dalam bentuk kolase, perhatikan foto-foto utama yang harus ditampilkan dominan, juga bagaimana arah pandangan pemirsa saat melihat kolase tersebut. Jangan menjejalkan terlalu banyak foto dalam satu halaman kolase, karana pada umumnya hal itu akan membuat cerita menjadi lebih sulit dipahami.

Terakhir, bila media finalnya adalah berupa galeri online atau bahkan postingan di medsos, berarti perlu diperhatikan juga faktor kenyamanan pemirsa saat melihat foto-foto karya kita. Foto dan layout yang rumit pasti tidak nyaman dilihat melalui layar smartphone. Akibatnya, karya kita akan menjadi kurang efektif, bahkan mungkin pesan yang ingin kita ceritakan tidak dapat tersampaikan dengan baik.

“Those people who want to use a camera should have something in mind, there’s something they want to show, something they want to say.”

Gordon Parks
Kopi Aroma (Studio Fotokom, 2012)
Mokka Arabika Aroma
(foto: Iwan Santosa, Studio Fotografi Komersial FSRD Maranatha)

ke Daftar Isi ↑

Rangkuman


(Ditulis oleh Iwan Santosa)

Referensi pustaka dan bacaan lanjutan: 1) Kenneth Kobre. 2004. Photojournalism: The Professional’s Approach. Focal Press; 2) Katherine A. Bussard. 2020. Life Magazine and the Power of Photography. Princeton University Art Museum; 3) W. Eugene Smith. 1948. “Country Doctor”. Life Magazine; 4) W. Eugene Smith, Aileen M. Smith. 1975. Minamata: The Story of the Poisoning of a City, and of the People Who Choose to Carry the Burden of Courage. Alskog-Sensorium Book/Holt, Rinehart and Winston

ilustrasi foto atas: “The Masks 2020”Iwan Santosa)

CATATAN PENULIS:
1) Tulisan ini dibuat untuk tujuan edukasi. Anda diperkenankan membagikan dan mengutip sebagian isi artikel ini dengan menyertakan identitas penulis dan tautan sumber (contoh: Iwan Santosa, “Jangan Asal Jepret, Yuk Bikin Fotomu Bercerita!”); 2) Seluruh foto dalam artikel ini adalah hak cipta milik masing-masing fotografer. Anda diperkenankan menggunakannya untuk keperluan edukasi, dengan menyertakan identitas fotografer, judul foto, dan tautan sumber (contoh: Foto “Karapan Sapi” oleh Iwan Santosa; atau “Dapur Satu Suro” © Iwan Santosa).

edukasi khusus
5 bintang | 16 pendukung