Citarum dan Indonesia
Citarum boleh ditulis Ci Tarum. Ia mengingatkan saya pada Negeri Taruma atau Tarumanegara. Kerajaan itu berdiri di Jawa Barat pada abad ke-4 Masehi, dengan ibu kota Sundapura. Dalam imajinasi saya, Sundapura terletak di tepi Sungai Citarum, dan banyak ditumbuhi indigofera alias pohon tarum. Tentu saya sadar, Indigofera tinctoria termasuk semak-semak yang tak bisa tinggi, dan Kota Sundapura lebih dekat dengan Sungai Cipunagara.
Pada abad ke-7, Tarumanegara pecah menjadi dua. Citarum dijadikan batas dua pecahan kembar yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Para ahli berpendapat, sejak awal abad pertama Masehi sudah ada permukiman pra-Hindu di hilir Sungai Citarum. Hal itu juga dicatat oleh para pedagang Tiongkok yang datang ke sana.
Mengapa Citarum penting? Bagi saya, Citarum adalah “sungai negara” yang sebenarnya. Memang lebih banyak lukisan lama tentang kegiatan perdagangan di Cipunagara. Namun nyatanya Citarum lebih berfungsi secara ekonomi dan teknologi sampai sekarang. Ada empat bendungan besar di tubuhnya: Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur yang merupakan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), ditambah lagi Bendungan Curug.
Padahal, paling panjang Citarum hanya 300 kilometer, mengalir dari tujuh mata airnya di Gunung Wayang, sampai bertemu Laut Jawa di Muara Gembong. Beberapa kali saya diajak teman-teman ke Muara Gembong. Mereka bilang, di dekat pintu air Citarum itu, ada penjual sate paling lezat di dunia. Kalau mendekati mata airnya, baru sekali saya ikut setelah berperahu di Waduk Cirata, bersama almarhum Prof. Otto Soemarwoto, tokoh lingkungan dari Universitas Padjadjaran.
Saya ingat hasil kunjungan itu adalah artikel “Menjaga Naga Citarum” di Harian Kompas. Saya mendengar masyarakat setempat percaya hulu Sungai Citarum dijaga naga. Di masa lalu naga itu dihormati dengan tarian ular raksasa yang diarak keliling desa. Intinya, mengajar publik agar percaya hutan lindung dekat mata air tidak boleh dirusak. Kalau mungkin tidak didatangi, bahkan perlu disakralkan.
Mitos bahwa setiap sungai dijaga naga rasanya merata di muka bumi, termasuk di Benua Asia dan Pulau Kalimantan. Sungai dianggap rusak, bahkan mati apabila sudah tidak mempunyai naga. Dalam buku ini kita merasakan kedekatan sungai dengan teman-teman di Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Fokus perhatian mereka terutama pada anak Sungai Citarum yaitu Cikapundung yang perlu dirawat mati-matian, karena terancam rusak berat.
Perlu dicatat, Citarum merupakan sungai yang paling banyak dibahas dan dipenuhi dengan berbagai program pelestarian. Ada Program Cita-Citarum, ada Citarum Harum, ada pula Revitalisasi DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum maupun kantor BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Citarum. Begitulah semua sungai di bumi ini banyak pemangkunya, baik yang bersifat mitologis, teknologis, birokratis, maupun eksotis seperti lagu Citarum Harum yang dinyanyikan Fanny Sabila.

Saya sendiri pernah ikut dalam Gerakan Ciliwung Bersih di Jakarta, dan menerbitkan Majalah Ciliwung, pada pertengahan 1990-an. Ketika Clean Willamette Campaign merayakan ulang tahun programnya ke-60, saya juga hadir di Portland, Oregon, Amerika Serikat, 1998. Willamette adalah nama sungai di Negara Bagian Oregon, yang mulai dijaga kebersihannya sejak 1938. Demikian canggihnya upaya pembersihan sungai, sampai dibangun laboratorium di dasar sungai itu.
Dengan lift kita bisa turun, masuk ke bangunan di dalam air, ikut memantau kualitas air dan menghitung ikan salmon yang lewat. Dinding bangunan itu terbuat dari kaca, dan airnya cukup jernih. Tentu lengkap dengan peralatan sensor untuk mendeteksi berbagai objek yang lewat. Itulah contoh kegiatan merawat kesehatan sungai paling serius. Sementara itu, wisata sungai yang pernah saya ikuti adalah berlayar di Sungai Mississippi (Amerika Serikat), Sungai Sumida (Jepang), Chao Praya (Thailand), dan cukup sering di Sungai Thames, ketika bermukim di Inggris 1988- 1991.
Jadi, ketika teman-teman di Universitas Kristen Maranatha mengundang saya untuk bercerita bagaimana menulis tentang sungai, saya senang sekali. Sayang saya tidak bisa ikut bertamasya ke Cikapundung. Meskipun begitu, saya bayangkan sungai di Bandung itu bisa menjadi seperti La Seine di Paris dan Sungai Hudson di New York yang melahirkan banyak pelukis dan sastrawan berkat menimba inspirasi dari sungai-sungai itu. Dugaan saya benar, terbukti dengan terbitnya buku ini.
Saya datang ke kampus Universitas Kristen Maranatha pada bulan November 2018 dan bertanya apa yang terpikir kalau berdiri di tepi Sungai Cikapundung? Seorang mahasiswi menjawab, “Teringat buku Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis.” Bagus sekali, jawab saya. Sumbangan pertama setiap sungai adalah inspirasi yang diberikannya. Novelis Brasil, Paulo Coelho telah membuat Sungai Piedra hidup dalam hati banyak orang.
Kita tahu Piedra adalah nama lain dari Sungai Kolorado. Namun, Sungai Piedra tempat Pilar duduk dan menangis itu mengacu pada Sungai Babel, dalam Mazmur karya Daud, yang amat terkenal dalam Perjanjian Lama. Yang penting, gadis muda bernama Pilar menyadari berkah Tuhan luar biasa ketika kekasihnya sejak kecil, ternyata punya jalan hidup spiritual berbeda, yaitu menjadi rohaniwan. Bisakah Cikapundung memberikan pengalaman spiritual seperti Sungai Piedra?
Kita ingin melihat hasil renungan para penulis esai dari Universitas Kristen Maranatha ini. Waktu itu saya menyambung diskusi dengan kisah Dewi Durgandini, yang dihukum menjadi Tukang Perahu di Sungai Yamuna. Saya pikir, adegan terindah dalam Kitab Maha Bharata terjadi ketika seorang tukang perahu perempuan, mengantar Sentanu mengejar burung pipit yang lari meninggalkan anak-anaknya. Maklum saja, sarang burung itu ada di kepala Sentanu.
Untunglah ada pulau kecil di tengah Sungai Yamuna. Di sana kegiatan menjadi berubah, tidak perlu mengejar burung yang lari, tapi Sentanu jadi mencintai sepenuh hati Durgandini yang juga dikenal sebagai Dewi Satyawati dalam kisah Sayojanagandhi. Nah!
Jadi kita boleh mengharapkan anak Sungai Cikapundung maupun induknya, Citarum, bisa memberikan inspirasi dahsyat. Sama dahsyatnya dengan Sungai Donau yang melahirkan lagu The Blue Danube atau Sungai Rhein di Jerman yang melahirkan Legenda Die Lorelei. Mengapa? Sebab Citarum berperan penting dan kaya akan mitos. Sampai sekarang pun masih banyak yang percaya ada Munding Dongkol—kerbau ajaib yang memberi isyarat bila banjir akan datang.
Memang sangat pendek, bila dibandingkan dengan Sungai Nil di Afrika atau sungai Donau yang sembilan kali lebih panjang. Namun, untuk para pengarang di Kota Bandung, Sungai Cikapundung bisa menjadi segalanya. Citarum juga dinyanyikan sebagai “cai nu suci titipan Gusti,” seperti kata Fanny Sabila. Air suci titipan Tuhan!
Saya yakin, para cendekiawan di sepanjang Sungai Citarum bisa menjaga dan menjernihkan kembali sungainya. Minimal melalui berbagai anjuran seperti tertuang dalam kumpulan esai ini. Terima kasih saya telah diajak berpikir dan menyuarakan pentingnya menghormati sungai, ibu yang melahirkan peradaban manusia. Boleh dicatat Sungai Tiber untuk Roma, Sungai Musi untuk Palembang, dan Sungai Gangga bagi India, dan Sungai Han yang melahirkan Han Kuk—Negeri Han alias Korea!
Dalam hati, saya merasa nama Tarumanegara sama indahnya dengan Indonesia. Lain kali saya ingin membuktikan. Kali ini, tugas saya hanya menulis pendahuluan. Bukan penghiliran—meskipun pesan terakhir tetap penting: “Mari mencintai sungai di mana pun kita berada.” Mencintai sungai perlu kerja keras, terus-menerus dan selamanya.
Ditulis oleh Eka Budianta dalam buku Bercermin di Wajah Sungaiku
Halaman ini adalah bagian dari kumpulan esai “Bercermin di Wajah Sungaiku”
Jelajahi artikel inspiratif lainnya »