Dari Cikapundung Menuju Citarum, Jalan Panjang Tak Kunjung Harum
Dalam sebuah artikel di satu majalah, saya pernah menulis seperti ini: “Bagi kita yang hidup di tengah kota, dikelilingi belantara beton dan gawai serbacanggih, gambaran sungai yang konservatif—gemercik air yang alami dan menyejukkan—tampaknya jauh dari kenyataan. Bila pun ada, sepertinya hanya dalam ingatan sebagian rekan yang memang pada masa mudanya sering bermain di kali.”
“Siapa yang berani mandi di kali sekarang ini, bila tidak dipaksa kondisi. Terlebih lagi kita orang Bandung, memandang Sungai Citarum yang sempat bergelar sungai terkotor di dunia. Bahkan sebagian kalangan memilih menutup mata, seolah sungai hanyalah sumber masalah belaka. Gemercik air yang alami dan menyejukkan, telah tergantikan gambar-gambar banjir dan penderitaan, menyebut sungai sebagai pelakunya”.

(foto: Iwan Santosa, 2020)
Beberapa orang rekan sontak menimpali tulisan itu, “Miris sekali nasib sungai di paragraf itu! Di tengah Bandung kota metropolitan ini, gemercik air yang menyejukkan nyata adanya; tengok saja Teras Cikapundung.” Betul juga. Nyaris terlewatkan, Teras Cikapundung yang masih terhitung seumur jagung. Tiga tahun sejak dibuka (2016), bagaimana kabar Teras Cikapundung kini?
Kesejukan di Tengah Metropolitan
Tidak terlalu jauh dari pintu masuk Kota Bandung melalui Tol Pasteur, Teras Cikapundung hanya berjarak kurang lebih 30 menit perjalanan menggunakan motor atau mobil, dengan kondisi lalu lintas Sabtu pagi, ketika kemacetan belum menggila. Teras Cikapundung terletak di kawasan hutan kota Babakan Siliwangi, tidak jauh dari kawasan belanja ikon Kota Bandung, Jalan Cihampelas.
Bila kita melintas Jalan Siliwangi dari arah barat, Teras Cikapundung tampak di sebelah kiri jalan, ditandai jembatan merah yang eye–catching. Bagi pengendara mobil yang belum pernah berkunjung sebelumnya, pintu masuk ke tempat parkir mudah terlewatkan, karena akses jalan yang cukup sempit, menurun, dan menikung tajam dari jalan utama.
Sabtu pagi di awal tahun 2019, suasana Teras Cikapundung sudah mulai ramai sejak sekitar pukul tujuh, dan semakin ramai menjelang siang. Berdiam diri sejenak di bibir sungai, duduk di pinggiran amfiteater, sejuknya pagi itu terasa sangat menyegarkan. Barisan soang tampak berjajar, berenang di pinggiran sungai. Pemandangan yang cukup langka bagi kaum metropolitan.

Sayangnya air sungai saat itu sedang surut. Di bawah jembatan merah nyaris tinggal setengah jalur saja, sisanya tampak batuan dasar sungai. Pantas saja wahana perahu yang menjadi salah satu atraksi kurang peminat. Dari pagi hingga siang, mungkin hanya ada dua-tiga rombongan saja yang bermain perahu karet itu.
Teringat tiga tahun lalu saat peresmian, Walikota Bandung saat itu, Ridwan Kamil, yang bermimpi tentang wisata perahu layaknya di Venesia. Agaknya mimpi itu masih jauh dari nyata.
Jembatan Pencuri Perhatian
Berjalan melintasi jembatan merah, pencinta selfie wajib beraksi. Jembatan ini salah satu spot foto favorit para pengunjung. Dari atas jembatan ini kita bisa memandang Sungai Cikapundung ke arah barat (hulu), dengan kerimbunan pepohonan di sisi kiri-kanannya. Ke arah timur, terlihat air sungai mengalir melalui kolong jembatan Jalan Siliwangi, lalu membelah permukiman warga.
Tiba di ujung jembatan, tampak beberapa anak bermain wahana kereta. Tidak mahal, tarif wahana-wahana permainan di sana hanya berkisar lima ribu hingga sepuluh ribu rupiah. Wahana favorit tampaknya adalah Kolam Tujuh Kura, tempat terapi ikan berhiaskan tujuh patung kura-kura, yang juga merupakan kolam konservasi ikan habitat Sungai Cikapundung.
Tepat di ujung jembatan ini tempat pengisi perut pertama; sebuah warung menjajakan minuman dan makanan kecil. Segelas kopi panas dan beberapa potong gorengan renyah cukup untuk pengganjal pagi hari. Pengisi perut yang kelasnya lebih berat, terdapat di warung-warung sekitar ujung barat, mengarah ke perbukitan di atasnya.
Rupanya masalah perut tidak jadi masalah di Teras Cikapundung ini. Makanan ringan hingga berat tersedia. Hanya saja, dari tempat makan yang disediakan, tampak langsung tumpukan sampahnya. Cukup rapi memang, tidak berserakan dan berceceran terbuka. Namun tetap saja tidak elok dilihat, apalagi bila aromanya terbawa angin.

Para pedagang di Teras Cikapundung ini memang sudah teredukasi untuk mengendalikan sampah. Sayangnya justru para pengunjungnya yang masih kurang sadar diri. Masih dapat ditemui sisa-sisa pembungkus plastik di beberapa sudut. Untungnya Komunitas Cikapundung yang mengelola dan menjaga tempat ini tidak pernah absen menjalankan patroli bersih-bersih kawasan.
Satu titik yang sangat menarik di tepi utara, adalah sebuah sumur yang airnya sangat jernih. Ini adalah satu dari beberapa mata air yang mengalir menuju Cikapundung. Sungguh jernihnya, hingga bebatuan kecil di dasar sumur mini ini terlihat sangat jelas. Kalau airnya seperti ini, segar sekali bila kita bisa mandi di sini, bahkan mungkin aman untuk diminum.
Berbalik arah memandang air yang mengalir di sungai, kesannya sungguh berbeda. Tampak hijau kecoklatan, mandi jadi tidak terpikirkan. Sampah masih saja lewat tiap beberapa menit. Bahkan sampah “kelas berat”—popok bekas—juga sesekali menampakkan diri terbawa aliran.
Tidak terlalu banyak memang, hanya terlihat kalau memang kita sengaja mengamati sungai ini. Tetap saja pemandangan seperti ini “menyeramkan”. Mungkin sekelompok anak yang dengan riangnya mandi dan bermain loncat ke sungai pagi itu sedang beruntung tidak dihinggapi salah satunya. Bila sedang kurang beruntung, pasti tak berani lagi mereka bermain di sana.
Air sungai yang mengalir melintasi Teras Cikapundung memang masih jauh dari impian. Namun setidaknya kawasan Teras Cikapundung cukup berhasil memberikan setitik kesegaran di tengah Kota Bandung. Bagi para pekerja kantoran, menikmati akhir pekan di Teras Cikapundung pastinya bisa menghadirkan suasana yang jauh berbeda dengan keseharian.
Anak-anak pun tampaknya riang ceria di sana, bermain di seputar air mancur dan wahana-wahana permainan; hanya duduk-duduk bersenda gurau dengan teman-temannya menikmati udara yang lebih segar daripada udara di jalanan sekitar; bahkan ada kelompok-kelompok anak sekolah yang mengamati pepohonan yang namanya tertulis rapi dan tersemat menandainya.
Model Restorasi Nasional
Sebagai salah satu anak Sungai Citarum, Cikapundung punya sumbangsih besar dalam upaya pemulihan Citarum. Teras Cikapundung yang merupakan bagian dari program restorasi Sungai Cikapundung pun disebut sebagai percontohan nasional restorasi sungai; tidak hanya membangun fisiknya, tapi juga memberdayakan masyarakatnya.
Bila Sungai Cikapundung berhasil bersih, diyakini Citarum pun akan bisa bersih. Model revitalisasi sungai dengan program ekowisata seperti Teras Cikapundung dapat diterapkan pada Sungai Citarum dalam skala yang lebih besar.
Memang, program ekowisata yang berhasil membutuhkan pengelolaan yang kompleks dan harus terintegrasi. Pengelolaan kawasan sebagai tempat wisata bila tidak cermat justru akan berdampak perusakan lingkungan, karena sampah maupun eksploitasi alam yang tidak terkendali. Jangan sampai upaya konservasi malah berbelok menjadi komersialisasi yang kontradiktif.

Membandingkan kondisi sungai yang mengalir di kawasan Teras Cikapundung dengan beberapa titik DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum yang masih penuh sampah dan limbah, menimbulkan rasa miris tetapi juga sekaligus tersirat adanya optimisme. Kawasan Teras Cikapundung yang dulunya kumuh dan dijauhi banyak orang, saat ini sudah berbalik keadaannya. Citarum juga pasti akan membaik.
Mengingat fakta, restorasi Teras Cikapundung yang “hanya” sepanjang 200 meter—dari total 28 kilometer panjang Sungai Cikapundung—dapat terwujud dalam kurun waktu yang tidak singkat (2013-2016), dengan berbagai problematika yang menyertainya; apalagi Citarum, yang luas area DAS-nya jauh lebih masif.
Cikapundung tidak bisa bersih dengan sendirinya. Demikian pula Citarum tidak akan harum dengan sendirinya, bila kita semua masyarakat Bandung, juga Jawa Barat, tidak mengupayakannya bersama-sama. Citarum Harum janganlah jadi slogan semata. Citarum pasti akan harum—mari kita wujudkan.
Ditulis oleh Iwan Santosa (2019), terbit dalam buku Bercermin di Wajah Sungaiku
Halaman ini adalah bagian dari kumpulan esai “Bercermin di Wajah Sungaiku”
Jelajahi artikel inspiratif lainnya »