Saat yang paling membuat gundah seorang penulis pemula adalah sesaat setelah tulisan selesai. Ia kemudian mengirimkannya kepada media, lalu menunggu kabar konfirmasi apakah tulisannya akan diterbitkan. Penulis kawakan yang sudah kenyang asam garam menulis opini mungkin tidak lagi gundah, apalagi bila tulisannya langganan terbit.
Satu hari berlalu, kemudian satu minggu berlalu. Akhirnya satu bulan lebih berlalu. Ternyata tidak ada kabar. Bagaimana nasib tulisan itu? Bisa ditebak, kemungkinannya tidak akan terbit. Nasibnya berakhir di meja redaktur medianya.
Biasanya tim redaksi media akan memberikan respon dalam beberapa waktu setelah menerima kiriman tulisan. Baik diterima ataupun tidak, umumnya pengirim tulisan akan dihubungi.
Namun, terkadang bisa juga tulisan kiriman itu tiba-tiba terbit. Ada beberapa rekan penulis yang mengaku tidak menerima pemberitahuan apa-apa, tetapi tulisannya memang diterbitkan. Entah karena tim redaksinya lupa atau terlambat mengonfirmasi, atau bisa juga memang begitu kebijakan redaksinya.
Baca juga → Trik Lengkap Menulis Artikel Populer: Ternyata Ada Adiksimba Juga
Artikel ini membahas:
Rahasia Seleksi Redaksi
“Apakah tulisan dari tokoh penting sudah pasti langsung terbit?”
“Apakah tulisannya lolos karena penulisnya dosen atau profesor?”
“Apakah harus kenal redakturnya, agar tulisan mudah terbit?”
Pertanyaan-pertanyaan dan praduga seperti itu cukup banyak ditanyakan terutama oleh para penulis pemula. Bagaimana sebetulnya?
Jawaban atas beberapa pertanyaan itu dipaparkan jelas oleh Is Mujiarso1, redaktur di detikcom yang saat ini menggawangi subkanal kolom detiknews. Is Mujiarso atau Mumu—nama bekennya—setiap hari menyeleksi naskah-naskah tulisan kiriman dari para penulis kolom. Pastinya ia tahu benar kriteria sebuah tulisan lolos seleksi dan layak terbit.
Mumu dalam pelatihan menulis kreatif “Kiat Menulis dan Memublikasikan Artikel Populer di Media Online”2 bicara panjang lebar mengenai tulisan opini, lengkap dengan tips dan triknya.
Ketiga pertanyaan di atas, jawabannya berkaitan dengan atribusi penulis. Mumu menegaskan, tulisan dari seorang profesor atau tokoh penting tidak otomatis membuat tulisan itu langsung terbit.
Siapa menulis apa, itu lebih penting. Artinya, kesesuaian atribusi penulis dengan tulisan yang dibuatnya menjadi faktor yang lebih menentukan.
Bayangkan contoh berikut ini. Seorang ibu rumah tangga menulis opini dengan topik kelangkaan minyak goreng dan dampak nyatanya pada urusan dapur serta keuangan keluarga. Contoh berikutnya, seorang penyandang HIV-AIDS (ODHA) menulis opini tentang kehidupannya yang serba sulit didera diskriminasi.
Dua tulisan contoh tersebut kemungkinan layak terbitnya bisa lebih tinggi bila dibandingkan dengan tulisan bertopik HIV-AIDS yang ditulis oleh seorang profesor pakar teknik kelistrikan (sekalipun kenal dengan redakturnya). Kenapa? Karena contoh ketiga ini relevansi kepakaran penulisnya kurang pas dengan topik tulisannya. Lain cerita bila si profesor punya pengalaman mengenai HIV-AIDS, atau ia adalah ODHA.
Daya Tarik Esai
Atribusi penulis juga berhubungan dengan karakter tulisan opini. Mumu menjelaskan bahwa opini adalah tulisan esai yang berisi pendapat ahli, pakar, tokoh masyarakat, atau individu mengenai isu aktual.
Lebih lanjut, ia memaparkan tiga poin penting tentang esai.
- Pada esai, yang utama bukan pokok persoalannya, tapi cara penulis mengemukakan persoalan itu
- Esai mengutamakan kepribadian penulis—yang simpatik dan menarik
- Seorang esais menulis apa yang hidup dalam dirinya—perasaan dan pikirannya
Jauh lebih dalam lagi, Mumu mengatakan bahwa esai tidak memecahkan persoalan, tapi hanya menyajikan persoalan. Esai melukiskan persoalan, fenomena, atau gejala dalam kehidupan secara analitis, interpretatif, deskriptif, emosional.
Ia menggambarkan seorang esais adalah seorang yang sedang merekam kehidupan—yang hidup dalam dirinya, yang menarik perhatian, penting, menggelisahkan, mengusik.
“Esai adalah dialog pribadi antara diri penulis dan dunianya, memberikan nilai-nilai keindahan dan kemesraan bagi orang lain yang ikut serta dalam dialog tersebut.”
Jelas sekali dari beberapa definisi itu, esai sangatlah subjektif. Mengutip Mumu, “Subjektif tapi tidak ekstrem; melompat-lompat dari subjek ke objek, dari objek ke subjek.”
Kacamata si penulis dalam memandang dan menyajikan suatu persoalanlah yang menjadi daya tarik tulisan dibaca oleh orang lain. Urusan kacamata ini jelas berkaitan dengan atribusi penulis.
Coba bayangkan sekali lagi, opini tentang HIV-AIDS yang ditulis oleh seorang pakar kelistrikan, versus ditulis oleh ODHA yang sehari-harinya benar-benar merasakan diskriminasi. Mana kira-kira yang lebih compelling untuk dibaca?
Namun demikian, bukan berarti pakar kelistrikan tidak boleh menulis tentang HIV-AIDS. Tentu sangat boleh, asalkan tidak memaksakan, atau karena latah mengikuti arus viral semata sehingga tulisannya dingin. Pembaca yang kritis pasti dapat merasakan sebuah tulisan yang dipaksakan.
Baca juga → Bercermin di Wajah Sungaiku, 21 Esai Bahas Citarum dan Cikapundung
Sebab Tulisan Ditolak
Pertanyaan berikutnya yang menghantui banyak penulis pemula, “Mengapa tulisan saya ditolak?”
Jawaban real dari pertanyaan ini tidak akan ditemukan dalam surat pemberitahuan penolakan tulisan, atau surat konfirmasi lebih halus yang mengindikasikan tulisan diterima, tapi tidak layak terbit—keduanya sama saja.
Penyebab pertamanya sudah dibahas pada bagian sebelumnya, yaitu berkaitan dengan atribusi penulis dan daya tarik tulisan esai. Penyebab terbesar berikutnya adalah: karakter medianya tidak cocok dengan karakter tulisan, atau sebaliknya.
Sebagai contoh, media yang fokusnya membahas dunia politik, tentu tidak akan menerbitkan tulisan tentang cara beternak ikan hias. Contoh lain, tulisan bagus tentang cara mendapatkan segudang cuan dari trading saham, pasti tidak akan dimuat di majalah kecantikan.
Penulis harus mengenal karakter media tempat tulisannya akan diterbitkan. Tidak perlu sampai mengenal redakturnya, yang penting mengenal medianya.
Tidak sedikit penulis pemula yang naskahnya ditolak, kemudian ciut hati dan mengira tulisannya buruk. Padahal belum tentu demikian. Bisa saja tulisannya bagus, tapi salah tempat alias salah media.
Yang Harus Dihindari
Pada praktiknya, tidak ada aturan saklek yang mengatur kriteria sebuah tulisan masuk keranjang penolakan. Masing-masing media punya rambu-rambunya sendiri. Yang paling tegas adalah kriteria umum seperti faktor etika, misalnya plagiasi, moral, dan hal-hal yang ilegal.
Bila tulisan melanggar kriteria umum itu, jangan harap bisa terbit—kecuali medianya nakal!
Faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi sebuah tulisan layak terbit atau layak tolak, sifatnya lebih teknis. Antara lain adalah tulisan yang klise; bertele-tele; isunya tidak aktual; angle-nya tidak khas, sama pemikiran dengan penulis lain.
Berikutnya, tulisan kurang kaya wawasan, kurang ilustrasi, kurang rincian; tulisan kaku, minim gaya bahasa, juga minim sentuhan humor; tulisan terlalu dingin, kurang emosi, kurang personal. Semua faktor itu menjadi pertimbangan seorang redaktur dalam mengambil keputusan, apakah sebuah artikel akan diterbitkan di media yang dikelolanya.
Pertimbangkanlah semua faktor itu sebelum mengirimkan naskah ke media, sehingga kita bisa memprediksi berapa besar peluang tulisan kita layak terbit di media itu.
Saran khusus bagi penulis pemula, jangan jadikan faktor-faktor itu tadi sebagai penyulit dan penghambat kreativitas. Jangan mulai menulis dengan pikiran yang amat terbeban dengan faktor-faktor teknis itu. Seiring pengalaman menulis, tulisan kita pasti akan semakin terasah.
Menulislah, biarkan kreativitas mengalir tanpa batas!
(is)
CATATAN & REFERENSI
1) Is Mujiarso pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana detikhot, saat ini mengurusi opini dan cerpen di subkanal kolom detiknews;
2) Materi pelatihan menulis kreatif “Kiat Menulis dan Memublikasikan Artikel Populer di Media Online” oleh Dedeh Supantini (UK Maranatha) dan Is Mujiarso (detikcom), diselenggarakan oleh Perpustakaan Pusat UK Maranatha (8 Juni 2022)
ilustrasi atas: jcomp via freepik
Ternyata begitu ya rahasianya 🤔
Wahh sangat informatif, jadi paham sekarang.
https://unair.ac.id/