Siapa tak kenal Cheng Ho, nama besar yang selalu terngiang ketika kita membicarakan kedatangan orang Tionghoa ke Indonesia. Ekspedisi yang dilakukan armadanya ke berbagai penjuru dunia pada tahun 1405-1433 merupakan ekspedisi pelayaran terbesar abad ke-15.
Dalam 28 tahun itu tercatat tujuh pelayaran. Dalam tiap pelayaran Cheng Ho mengerahkan puluhan kapal besar dengan belasan hingga puluhan ribu awak. Kapal terbesarnya berukuran lima kali lebih besar daripada kapal ekspedisi Colombus saat menemukan benua Amerika. Mega-ekspedisi ini pun telah mengubah sejarah peradaban manusia.
Masuknya Cheng Ho ke wilayah Nusantara tercatat melalui banyak jalur. Kisah kedatangannya pun ada banyak versi, baik yang berbasis fakta dari catatan-catatan sejarah, bahkan hingga versi dongeng yang dibumbui banyak fiksi. Diskusi mengenai Cheng Ho, Jalur Sutra, hingga Wali Songo dan peran orang-orang Tionghoa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, mungkin merupakan diskusi yang selalu terbuka, tidak ada ujungnya.
Baca juga → Bangga Batik Indonesia yang Mendunia
Bukan Sekadar Pendatang
Diskusi tentang hal-hal ini pun yang menghidupkan suasana di dalam Galeri Sejarah dan Budaya Tionghoa Indonesia, di Jalan Nana Rohana, Bandung – setidaknya saat komunitas pemerhati budaya bersama CCDS (Center for Chinese Diaspora Studies) Maranatha berkunjung beberapa waktu lalu (02/2019).
Menjelang Imlek 2570, komunitas budaya dan fotografi yang tergabung dalam Chinese Culture Heritage Trail 2019 melakukan perjalanan menyusuri Bandung, menapaki jejak budaya Tionghoa di beberapa kawasan.
Kisah Cheng Ho yang legendaris itu hanya menggambarkan sepenggal kepingan puzzle dari konstelasi besar hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan bumi Nusantara. Jauh sebelum Cheng Ho, hubungan antara Tiongkok dengan Nusantara sudah terjalin baik. Bukti-bukti mengenai hal ini tercantum dalam catatan-catatan tua yang ditulis sekitar abad ke-4. Bahkan catatan dari Dinasti Han menyebut hubungan Tiongkok dengan Jawadwipa (Jawa) telah terjalin sejak 131 SM.
Lambat laun orang-orang Tionghoa menetap, membaur, dan menjadi bagian dari masyarakat Nusantara, generasi demi generasi, bukan sekadar pendatang.
Maka tak heran, menyatunya budaya Tionghoa dengan budaya lokal menjadikan budaya baru di daerah-daerah Nusantara. Khususnya di Bandung, produk budaya yang mengakar dari budaya Tionghoa sangat banyak ditemukan. Mulai dari dunia kuliner, arsitektur, bahasa, seni, pengobatan; banyak sekali unsur Tionghoa yang melebur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bandung yang majemuk.
Baca juga → Dari Jogja ke Magelang, Demi Borobudur yang Tak Terlupakan
Batagor Asli
“Tek-tek… tek-tek-tek…!”
Bila suara ini terdengar dari pinggir jalanan, itu tandanya salah satu pemuas lapar ini lewat: nasi goreng, bakso, batagor, atau mungkin mi ayam. Demikian merakyatnya makanan-makanan ini, bahkan batagor dikenal sangat “Bandung”; seperti halnya bakpia dikenal sangat “Yogyakarta”.
Batagor “asli” Bandung, bakpia Yogyakarta, juga nasi goreng Indonesia sudah menjadi bagian dari makanan khas Nusantara. Semua makanan lezat itu sebetulnya berasal-muasal dari Tiongkok. Orang-orang Tionghoa membawanya ke sini. Akulturasi pun terjadi dalam waktu berabad-abad, dan sekarang ini masyarakat Bandung tidak dapat lepas dari batagor.
Ini hanya salah satu fakta sederhana betapa hal-hal yang khas Indonesia, menyimpan warisan akar budaya yang beragam.
Batagor khas Bandung jelas-jelas menyimpan identitas Tionghoa. Mungkinkah identitas ini dinihilkan? Hubungan antara orang Tionghoa dengan kelompok etnis lainnya di Indonesia dulunya sangat harmonis, hingga datangnya era kolonial Belanda yang memorak-porandakannya. Kekuatan politik dan tatanan sosial yang mengadu-domba mau tak mau terpatri sekian abad lamanya.
Singkat cerita, keragaman yang padu akhirnya terusik. Sejak saat itu diperlukan upaya ekstra untuk menjaga keterpaduan dalam keragaman Indonesia – khususnya yang berunsur Tionghoa, walaupun produk akulturasinya tidak mungkin dicabut lagi identitas asal-usulnya.
Baca juga → Teras Cikapundung, Wajahmu Kini
Jejak Tionghoa Pertama
Mencari akar batagor Bandung hingga ke negeri China tampaknya tak sesulit menelusuri jejak orang-orang Tionghoa pertama yang datang ke Bandung. Untungnya tradisi pemakaman Tionghoa cukup membantu.
Berkunjung ke Cikadut, kita masih dapat menyaksikan satu makam penting yang bila dicermati, dapat membawa kita memahami situasi era kolononial di Bandung: makam Tan Joen Liong, Liutenant Tionghoa terakhir di Bandung, yang berangka tahun 1859-1917.
Sungguh sayang, kondisi makamnya tidak terawat.
Tokoh lain yang juga dimakamkan di kawasan itu adalah Yo Giok Sie, saudagar yang membangun industri tekstil pertama di Bandung; Boen Soeij Tjoe, ahli bangunan yang mewariskan beberapa bangunan terkenal, termasuk Kelenteng Xie Tian Gong dan Gedung Pakuan; serta tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.
Menyusuri Bandung menapaki jejak sejarah Tionghoa telah membuka wawasan, melihat langsung warisan-warisan budaya Tionghoa yang mengakar, tenggelam dalam imajinasi keharmonisan yang rentan; membuka mata, membuka pikiran. Bhinneka Tunggal Ika itu nyata adanya. Bhinneka Tunggal Ika yang membuat Indonesia kaya.
(Iwan Santosa)
Tulisan ini terbit di Majalah M! Vol. 2 No. 1
foto atas: “Solek Imlek Xie Tian Gong” oleh Iwan Santosa
Waahh Konten yang informatif. Kunjungi https://unair.ac.id/