T-Rex Chrome Dino

Nasib Warganet ketika yang Online-Online Terdisrupsi Offline

Awal Desember 2021, dunia online Indonesia mengalami gangguan akibat terjadinya kebakaran di Gedung Cyber. Bulan sebelumnya, dunia virtual juga terganggu akibat berhenti beroperasinya IM2. Dampak dari kedua peristiwa itu adalah banyaknya layanan daring yang lumpuh, dan ribuan website down.

Baca juga → Lagi-Lagi Telan Korban, Betulkah Jalan Tol Indonesia Tak Aman?

Ternyata, Gedung Cyber yang berdiri pada tahun 1995 merupakan salah satu lokasi penyimpanan server dan data center sejumlah besar perusahaan teknologi Indonesia. Tidak hanya perusahaan-perusahaan komersial saja yang menempatkan peladen dan menyimpan datanya di gedung itu, tetapi juga instansi-instansi pemerintahan dan penyelenggara layanan publik seperti sekolah dan rumah sakit.

Tweet Ajaib (2 Des 2021)

Aplikasi Ajaib dan Samsat Digital Nasional (Signal) mengumumkan terjadinya gangguan akibat insiden kebakaran Gedung Cyber melalui akun Twitter masing-masing (2/12/2021).

Tidak hanya itu saja, situs-situs perdagangan online pun lumpuh hingga berhari-hari dan memutus penghasilan para pebisnisnya. Salah satu penyedia layanan hosting pada media sosialnya mengumumkan jumlah website yang down mencapai 200 ribu situs. Selain itu, masih ada jauh lebih banyak lagi layanan daring yang terganggu. Bayangkan kerugiannya! Peristiwa kebakaran itu juga dilaporkan merenggut korban jiwa.

Nasib Internet Putus

Layanan koneksi internet bagi pelanggan korporasi pun ikut ditutup sejak akhir November. Penutupan layanan IM2 ini dikeluhkan terlalu cepat dan mendadak, sehingga membuat sejumlah pelanggan korporasi kalang kabut melakukan migrasi layanan ke ISP (Internet Service Provider) lainnya. Beberapa perusahaan dapat melakukannya dengan relatif cepat, tetapi ada juga perusahaan-perusahaan berskala lebih kecil yang perlu waktu lebih lama untuk melakukan migrasi tersebut. Semakin lama proses penanganannya, maka semakin besar pula kerugian yang harus ditanggung akibat terputusnya layanan bagi publik penggunanya.

Dua peristiwa itu—kebakaran Gedung Cyber dan tutupnya IM2—adalah contoh kasus dan pengalaman real betapa dunia virtual atau dunia maya atau dunia daring sangat bergantung pada dunia luring. Terjadinya gangguan berupa kebakaran di satu titik lokasi fisik ternyata berdampak sedemikian besarnya pada dunia daring. Upaya pemulihan hingga layanan dapat kembali normal pun bergantung pada sumber daya manusia yang bergerak di lapangan, termasuk para petugas pemadam kebakaran, para teknisi kelistrikan (mechanical & engineering), para teknisi IT, hingga para manajer teknologi dan manajer operasi tingkat atas.

Petugas pemadam kebakaran jelas menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan insiden kebakaran dan mencegahnya agar tidak meluas. Petugas teknisi kelistrikan dan IT menjadi garda depan untuk penanganan teknis infrastruktur teknologi informasi. Manajer-manajer tingkat atas menjadi penanggung jawab atas keberlangsungan operasi layanan, termasuk memastikan standar-standar operasi diterapkan dengan baik. Standar yang dimaksud bisa merujuk pada ISO 9001 yang lebih bersifat umum, hingga ISO 27001 yang spesifik mengatur sistem manajemen keamanan informasi.

Yang Online-Online Itu (Tidak) Murah

Demikian banyaknya sumber daya yang harus dikerahkan untuk menjalankan dan menjaga layanan daring agar dapat berjalan dengan baik dan dapat digunakan oleh para penggunanya. Hal ini juga membuktikan dua sisi mata uang dunia maya.

Di satu sisi, dunia maya adalah dunia “gratis”. Di mata masyarakat banyak, online itu murah. Sebagai contoh, membaca koran online jauh lebih murah (bahkan gratis) daripada membeli koran cetak; memesan makanan online juga jauh lebih murah daripada harus pergi ke restoran; belanja online juga lebih murah daripada harus berkeliling toko; kursus dan sekolah pun saat ini bisa diikuti gratis di beberapa penyelenggara pendidikan online.

Namun di sisi lain, yaitu dari sisi penyelenggara layanan, tentu semua perusahaan sepakat bahwa menyediakan, menjaga, dan mengembangkan layanan online itu resources-intensive. Tidak hanya SDM saja yang menjadi faktor penting, tetapi perangkat-perangkat teknologinya pun memegang peranan sangat penting. Semuanya itu butuh biaya tinggi. Sangatlah wajar bila sebagian besar alokasi anggaran perusahaan-perusahaan modern tersedot untuk investasi dan pengelolaan teknologi informasi.  

Baca juga → Ramai OVO Dicabut dan Facebook Hilang dari IG, Segitunya Arti Sebuah Nama?

Disaster Zaman Batu

Pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020 telah berdampak naiknya utilisasi internet secara drastis. Sekarang semuanya serba-online. “Meeting” di perkantoran pun saat ini telah bergeser pengertiannya menjadi online meeting. Coba lihat betapa Zoom telah menjadi kosakata wajib dalam kehidupan perkantoran. Saat ini yang dimaksud “meeting”, sebagian besar adalah Zoom meeting alias pertemuan daring.

Coba lihat pengeluaran bulanan kita setahun terakhir ini, pasti ada pembengkakan di bagian anggaran kuota internet. Paket kuota internet mungkin sudah menjadi bagian daftar belanjaan wajib sebagian besar masyarakat. Kuota internet bahkan sudah menjadi sembako utama bagi para netizen. Tidak ada netizen yang dapat hidup tanpa internet, kan!

Coba bayangkan bagaimana kehidupan kita saat ini bila tanpa internet, tanpa semuanya yang online-online itu.

Masyarakat menyebut zaman sekarang ini adalah era disrupsi. Masyarakat mestinya sudah akrab dengan yang namanya disrupsi, dan disrupsi sudah menjadi hal yang wajar. Satu pertanyaan penting: seberapa sanggup kita menghadapi disrupsi, bila dirupsi itu terjadi pada dunia maya, dunia virtual, dunia daring yang saat ini menjadi tempat kita “hidup” dan bergantung?

Ketika semua yang online-online itu putus, bagaimana nasib kita warganet, para manusia modern ini?


(aa/is)

ilustrasi atas: gambar tokoh T-Rex dalam Dinosaur Game (Chrome Dino)

opini umum
5 bintang | 3 pendukung