Netizen modern tidak bisa hidup tanpa foto! Buktikan dengan menjawab pertanyaan ini, “Siapa yang hari ini belum melihat foto?” atau “Siapa yang dalam seminggu terakhir ini belum memotret apa pun?” Kecil sekali kemungkinannya, ada di antara kita yang hari ini belum melihat satu pun foto, atau tidak memotret apa pun dalam tujuh hari terakhir.
Foto sudah menjadi bagian penting dari keseharian kita. Wajar, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk visual. Kita cenderung lebih mudah berkomunikasi melalui gambar, daripada membaca tulisan. Manusia juga lebih mudah memahami dan memercayai gambar, dibandingkan hanya dengan kata-kata.
Daftar Isi
Seeing is Believing
Apakah Anda percaya, bila saya bercerita bahwa pada zaman dahulu kala, manusia repot sekali ketika ingin mengabadikan sebuah gambar? Sebelum fotografi ditemukan, manusia mengabadikan pemandangan alam atau potret wajah dengan cara dilukis, bukan difoto. Foto pertama yang berhasil dibuat, gambarnya pun tidak begitu jelas.
Apakah Anda percaya, bila saya menceritakan bahwa pada suatu ketika ada seorang fotografer yang harus membuat kamera, membangunnya dari nol, hanya untuk keperluan memotret sebuah kejadian? Kamera itu berukuran raksasa, bahkan sampai perlu beberapa orang untuk mengoperasikan satu kamera tersebut.
Anda boleh percaya cerita saya itu, boleh juga tidak. Namun, Anda perlu melihat foto-foto berikut ini.
The Gras Estate di Saint-Loup de Varennes, tempat Nicéphore Niépce melakukan eksperimen dan berhasil mengabadikan foto pertama di dunia yang masih bertahan hingga saat ini. (sumber: Maison Nicéphore Niépce)
Medium Komunikasi Visual
Itulah fungsi paling mendasar dari fotografi, yaitu merekam kejadian atau sesuatu, dan menyampaikan kejadian atau sesuatu itu agar bisa disaksikan oleh orang lain. Orang lain yang menyaksikan foto tersebut tidak hanya ikut melihat saja, tapi juga ikut memahami dan merasakan apa yang ingin disampaikan oleh si pembuat foto.
Terima kasih kepada Nicéphore Niépce, sang penemu fotografi. Tak terbayangkan kehidupan dan peradaban manusia bila fotografi tak pernah ditemukan.
Apakah Anda pernah mengalami, suatu saat ketika sedang lapar dan ingin membeli makanan, lalu melihat gambar-gambar menu restoran yang sedemikian membuat rasa lapar semakin menjadi-jadi? Sampai-sampai air liur membanjiri mulut tanpa kita sadari.
Ya, fotografi bisa memengaruhi keputusan seseorang, secara sadar maupun bawah sadar. Itulah kekuatan fotografi sebagai medium komunikasi. Sebuah foto bisa memengaruhi seseorang untuk merasakan sesuatu, dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu.
Fotografi bukan sekadar alat untuk mengabadikan sesuatu, tapi merupakan medium yang sangat efektif untuk berkomunikasi. Karena itulah, foto-foto yang sering terlihat di media-media iklan sangat mengundang orang-orang untuk membeli produk atau jasa yang diiklankan.
Dalam perjalanan peradaban manusia, ada foto-foto bersejarah yang sangat terkenal. Beberapa disebut sebagai foto pengubah peradaban—bahkan mengubah dunia—karena dampak dari foto tersebut yang berhasil mengubah cara manusia berpikir, atau mendorong tindakan perubahan atas suatu keadaan yang sebelumnya kurang mendapat perhatian.
Pelajari juga → Membuat Foto Esai
Foto-foto yang berhasil memengaruhi pendapat seseorang, atau berhasil mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, adalah foto-foto yang berhasil mendayagunakan kekuatan fotografi sebagai medium komunikasi visual secara efektif. Namun, banyak juga foto yang buruk dan gagal, tidak berdampak apa-apa bagi para pemirsanya.
Foto-foto yang berhasil adalah foto-foto yang bagus dan “benar”, bukan foto yang asal-asalan. Bagaimanakah foto yang bagus dan benar itu?
Membuat Foto Bagus
Ada yang mengatakan, “A picture is worth a thousand words.” Foto yang bagus adalah seribu kata yang bermakna. Sedangkan foto yang buruk seperti seribu kata tanpa makna. Makna yang dimaksud adalah pesan yang ingin disampaikan oleh fotografer kepada pemirsa.
Ada lagi istilah “mengambil” foto versus “membuat” foto. Mana yang akan menghasilkan foto bagus? Mengambil atau membuat foto?
Mengambil foto bisa dilakukan oleh siapa pun, dan bisa dilakukan tanpa harus berpikir. “Mengambil” berarti memperoleh apa yang sebelumnya sudah ada, secara sengaja maupun tidak sengaja. Lain halnya dengan “membuat”, pastilah harus sengaja dipikirkan matang-matang, ingin membuat apa, untuk apa, dan bagaimana caranya.
Kriteria Foto Bagus
Foto yang bagus adalah foto yang dibuat, bukan sekadar diambil. Kalau kita hanya sekadar mengambil saja, maka bagus tidaknya karya foto kita bergantung dari bagus tidaknya apa yang sudah ada di depan kamera.
Maka dari itu, si fotografer harus punya tujuan dan gambaran yang jelas, untuk apa dan seperti apa foto yang akan dihasilkannya nanti, sebelum menjepret atau menekan tombol rana.
Setelah itu, ia perlu mengatur subjek dan kameranya agar apa yang dibayangkannya itu bisa terwujud menjadi sebuah foto yang baik, sesuai tujuan dan harapannya. Inilah yang dimaksud “membuat” foto.
Itulah kriteria pertama sebuah foto yang bagus, yaitu foto yang sesuai dengan tujuan dan gambaran di kepala si fotografer saat ia membuatnya. Kemudian, ketika foto itu dilihat oleh orang lain, apa yang ingin disampaikan oleh si fotografer melalui foto yang dibuatnya itu dapat tersampaikan dengan baik.
Sebagai contoh, si fotografer ingin membuat foto produk kopi yang kemasannya khas. Kopi itu dihasilkan dari biji kopi pilihan, dan pabriknya sudah terkenal puluhan tahun. Kira-kira seperti apa fotonya, dan bagaimana membuatnya?
Dua Bahasa Penting Fotografi
Dalam setiap foto, pasti ada dua unsur ini: unsur teknis dan unsur kreatif. Agar kita bisa menyampaikan pesan dengan baik, kita perlu memahami dua “bahasa”, yaitu bahasa teknis dan bahasa kreatif. Kedua unsur ini adalah kunci untuk membuat foto yang bagus.
Bahasa teknis berhubungan dengan pengaturan-pengaturan kamera. Contohnya antara lain pengaturan exposure, shutter speed, aperture, ISO, white balance. Bersyukurlah kita manusia modern, pengaturan-pengaturan teknis ini sebagian besar sudah dilakukan otomatis oleh kamera. Semuanya serba auto, serba mudah.
Bahasa kreatif berhubungan dengan bagaimana si fotografer menyikapi apa yang ada di depan kamera, mengubahnya menjadi gambar dua dimensi, dan bagaimana ia mengatur kamera untuk menjadikan sebuah foto seperti yang dimaksudkannya.
Faktor-faktor yang termasuk unsur kreatif misalnya adalah komposisi, pemilihan subjek, angle, pengaturan cahaya, pengarahan gaya atau pose, dan semua hal yang tidak bisa dilakukan oleh kamera tanpa campur tangan dan pertimbangan kreatif si fotografer.
Kriteria Teknis Pengaturan Kamera
Kita masuk ke kriteria foto bagus berikutnya. Kriteria kedua, foto yang bagus adalah foto yang tidak salah teknis atau tidak gagal secara teknis. Unsur teknis pengaturan kamera yang paling mendasar adalah:
1. Ketajaman
Foto yang bagus adalah foto yang tajam atau fokus, tidak nge-blur, tidak “goyang” (kecuali memang sengaja ingin menampilkan gerakan atau ingin ada bokeh di bagian tertentu). Ketajaman foto berhubungan dengan pengaturan fokus lensa; shutter speed; dan ruang tajam (depth of field). Efek bokeh bisa diatur dari pengaturan bukaan (aperture) atau diafragma, atau menggunaan lensa-lensa khusus.
Ketajaman foto juga berhubungan dengan kecepatan rana (shutter speed). Semakin tinggi shutter speed, semakin bisa “membekukan” gerakan. Sebaliknya, semakin rendah shutter speed, maka kamera akan menangkap lebih banyak gerakan, termasuk gerakan atau getaran kamera yang tidak disengaja.
2. Exposure
Foto yang bagus adalah foto yang exposure-nya pas, tidak terlalu terang (over exposure) atau terlalu gelap (under exposure). Pengaturan exposure bisa dilakukan dengan mengatur tiga elemen, yaitu 1) bukaan (aperture), 2) kecepatan rana (shutter speed), dan 3) kepekaan sensor (ISO).
Paling mudah adalah menggunakan mode auto, tapi bila kita ingin mendapatkan efek tertentu, kita perlu mengatur ketiga elemen exposure itu secara manual.
Mengapa fotografer perlu mengatur exposure secara manual? Karena mengubah diafragma, shutter speed, dan ISO tidak hanya berpengaruh pada exposure (gelap/terang) saja, tetapi juga memengaruhi karakter gambar yang dihasilkan.
Contohnya, bila kita ingin membuat sebuah objek terlihat bergerak cepat, maka gunakan shutter speed lebih rendah. Bila ingin membuat background dan foreground nge-blur menjadi bokeh, gunakan bukaan yang lebih besar (angka diafragma atau f-stop kecil). Bila ingin membuat semua benda tampak tajam, gunakan bukaan paling kecil (angka diafragma atau f-stop lebih tinggi).
Hati-hati dengan ISO, karena ISO berhubungan dengan karakter grain atau noise. Prinsip umumnya, semakin tinggi ISO maka kamera semakin mampu merekam gambar dalam kondisi lebih minim cahaya.
Namun, ISO tinggi akan meningkatkan level noise pada foto, sehingga foto akan terlihat kasar berbintik-bintik. Sebaliknya, semakin rendah ISO yang digunakan, maka foto akan tampak lebih halus karena noise-nya lebih sedikit.
3. White Balance
Foto yang bagus adalah foto yang warna cahaya atau objeknya tampak normal, atau tampak seperti yang diinginkan oleh si fotografer. Yang dimaksud normal di sini yaitu warna objek putih juga tampak putih di hasil fotonya, walaupun sumber cahayanya mungkin tidak benar-benar putih.
Contohnya, saat memotret orang berkaus putih dalam ruangan yang sumber cahayanya dari api lilin berwarna kuning kemerahan (besaran colour temperature sekitar 2000 K). Maka, foto yang normal adalah foto yang menampilkan kaus putihnya tetap terlihat putih, bukan kuning mengikuti warna sumber cahaya lilin.
Pengaturan pada kamera yang berurusan dengan hal ini adalah fungsi white balance (WB atau ‘imbangan putih’).
Penggunaan fitur auto white balance (AWB) biasanya menghasilkan gambar yang warna putihnya tampak cenderung putih netral, terlepas dari warna asli sumber cahayanya. Si kamera melakukan pengaturan tersebut secara otomatis.
Namun, terkadang si fotografer sengaja ingin menampilkan suasana cahaya dengan warna tertentu yang lebih kuat, misalnya saat memotret sunset. Maka ia perlu mengatur kembali white balance agar warna sunset terlihat lebih jingga, tidak pucat cenderung putih seperti pada settingan auto (AWB).
4. Dimensi
Foto yang bagus adalah foto yang bisa menampilkan subjek atau objek tampak seperti wujud dan proporsi aslinya. Namun bisa juga sebaliknya, justru menampilkan sebuah benda tampak terdistorsi karena si fotografer sengaja mengubah proporsi dimensinya.
Visualisasi dimensi atau perspektif pada foto dipengaruhi oleh panjang fokal lensa (focal length) bersamaan dengan jarak antara kamera dengan subjek atau objek yang difoto.
Semakin jauh jarak kamera dengan objek, dan semakin panjang focal length lensa, semakin “padat” perspektifnya. Semakin dekat jarak antara kamera dengan objek, dan semakin lebar lensa yang digunakan (semakin pendek focal length-nya), akan semakin “melar” perspektifnya, dan gambar akan tampak terdistorsi.
Rangkuman empat kriteria sebuah foto yang umumnya bisa disebut bagus atau “benar” secara teknis, yaitu 1) foto yang tajam; 2) exposure-nya pas tidak over atau under, dan noise-nya minimum; 3) warna putihnya pas terlihat normal, atau terkendali sesuai keinginan si fotografer; dan 4) pengaturan panjang fokal dan jarak pemotretannya menghasilkan gambar dengan distorsi minimum—kecuali si fotografer menginginkan sebaliknya.
Bolehkah empat kriteria teknis itu dilanggar?
Tidak ada yang melarang. Namun, siapa yang ingin melihat foto yang nge-blur karena tidak fokus, atau karena kameranya goyang, atau karena lensanya kotor? Siapa yang ingin melihat foto yang over atau under, terlalu terang sampai-sampai detailnya hilang dan tidak jelas lagi objeknya? Maka, pertimbangkan masak-masak sebelum sengaja melanggarnya.
Faktor Kreatif
Fitur auto pada kamera biasanya telah diprogram untuk menghasilkan foto yang antigagal teknis. Jarang sekali kamera-kamera keluaran terbaru yang di-set pada pengaturan auto menghasilkan foto gagal, termasuk over atau under. Bahkan ketika ada potensi gambar nge-blur karena getaran, biasanya akan muncul peringatan camera shake di layar viewfinder.
Fotografer bisa dengan leluasa mengubah-ubah pengaturan aperture, shutter speed, ISO, atau focal length lensa untuk mendapatkan efek seperti yang diinginkannya, tidak sekadar menghasilkan foto yang “benar” secara teknis.
Selain pengaturan teknis dan efeknya terhadap karakter gambar, fotografer juga perlu mengatur subjek atau objek yang ada di depan kamera. Bagaimana ia mengatur semua yang ada di depan kamera dalam sebuah frame foto, sangat dipengaruhi oleh kreativitasnya.
Urusan mengatur semua hal yang ada di depan kamera, biasanya disebut dengan pengarahan gaya, styling, atau pose. Sedangkan urusan pengaturan semua hal yang tampak dalam frame atau bidang foto, disebut dengan istilah komposisi.
Komposisi Visual
Berikut ini beberapa istilah berkaitan dengan pengaturan komposisi visual:
1. Framing
Sebuah foto memiliki batasan bidang dua dimensi yang disebut frame atau bingkai. Framing berkaitan dengan bagaimana kita memanfaatkan frame atau batasan bidang foto untuk membingkai subjek ke dalam bidang dua dimensi tersebut. Apakah bidang fotonya horizontal, ataukah vertikal? Apa saja yang perlu masuk dalam bidang foto itu, dan apa saja yang tidak perlu masuk?
Foto sebuah gedung yang tinggi, biasanya lebih baik dibingkai vertikal, agar semakin menegaskan ketinggiannya. Foto panorama alam yang luas, biasanya lebih baik dibingkai horizontal, agar terkesan semakin luas.
2. Rule of Third
Ada empat titik strategis yang secara umum diakui sebagai posisi paling baik pada sebuah bidang foto. Empat titik ini dibentuk oleh perpotongan dua garis vertikal dan dua garis horizontal yang masing-masing berjarak sepertiga dari setiap sisi bidang foto. Garis-garis itu membagi bidang foto menjadi tiga bidang vertikal dan tiga bidang horizontal.
Titik dan garis itu adalah posisi paling strategis untuk menempatkan objek atau elemen visual. Kebanyakan orang akan merasa nyaman melihat foto yang dibuat mengikuti prinsip ini. Kaidah ini disebut rule of third.
3. Focus of Interest
Biasa disebut juga focal point, merupakan bagian terpenting dalam sebuah foto yang dilihat pertama kali, atau paling menyita perhatian, atau menjadi titik henti pandangan pemirsa. Bagian ini biasanya adalah subjek atau objek utama dari sebuah foto, yang membentuk pesan atau maksud utama foto itu.
Foto jajanan pasar ini jelas sekali focal point-nya. Bagian yang paling menyita perhatian adalah potongan dadar gulung yang menampakkan isian kelapa gula merahnya. Focal point ini dipertegas dengan penggunaan kaidah komposisi rule of third. (foto: “Dadar Gulung” © Iwan Santosa)
4. Proporsi
Perbandingan satu elemen dengan elemen lainnya dalam sebuah foto. Elemen yang ditampilkan lebih besar, lebih menarik perhatian, lebih tinggi, dan lebih-lebih yang lainnya, akan tampak “lebih” bila ada elemen lain sebagai pembandingnya.
Istilah populer lainnya yang berkaitan dengan proporsi adalah golden proportion atau golden ratio. Prinsip golden ratio ini berhubungan dengan proporsi ideal yang membuat sebuah foto tampak nyaman dilihat karena terkesan organik atau natural.
5. Balance
Berhubungan dengan pengaturan elemen-elemen dalam sebuah bidang foto, agar tampak seimbang, tidak berat sebelah atau timpang. Komposisi yang balance biasanya lebih nyaman dilihat. Namun sebaliknya, si fotografer juga bisa dengan sengaja membuat foto yang terasa berat sebelah, untuk menekankan pesan tertentu.
Selain lima istilah komposisi itu, masih banyak lagi prinsip-prinsip komposisi visual yang nantinya dapat Anda pelajari lebih dalam, untuk membantu meningkatkan kualitas kreatif foto Anda.
Kaidah-kaidah mengenai komposisi bukanlah pakem atau rumus baku. Kaidah itu merupakan panduan umum yang sifatnya common sense. Kebanyakan orang akan merasa lebih nyaman bila melihat foto yang menerapkan kaidah umum itu—fotonya akan tampak lebih enak dilihat.
Pengaturan komposisi adalah urusan rasa, dan bisa sangat subjektif. Sering kita dengar ucapan, “Komposisinya kurang enak” atau “Fotonya ngga enak dilihat.” Masing-masing orang bisa saja punya taste-nya masing-masing.
Komposisi juga sangat berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh si fotografer. Sebagai contoh, bila fotografer ingin menyampaikan pesan mengenai ketidakstabilan, ya sebaiknya jangan mengatur objek dengan balance simetris.
Berikut ini adalah ringkasan dua kunci paling dasar yang perlu dikuasai untuk membuat foto bagus, berdasarkan beberapa kriteria yang sudah kita bahas di atas. Pertama, kuasai pengaturan teknis kamera untuk menghasilkan foto yang “benar” secara teknis. Kedua, kuasai faktor kreatif agar foto yang dihasilkan dapat menyampaikan pesan dan tujuan seperti yang diharapkan oleh si fotografer.
Sekilas Tata Cahaya
Sebetulnya, ada satu faktor penting lagi yang sangat menentukan kualitas foto, yaitu tata cahaya (lighting). Pengaturan tata cahaya meliputi antara lain: jenis dan karakter sumber cahaya (hard light, soft light), arah cahaya, kontras dan rasio cahaya, warna cahaya, hingga istilah-istilah seperti high key, low key, main light, fill light, dan seterusnya.
Artikel ini belum membahas mengenai tata cahaya. Mungkin saya akan membahasnya di lain kesempatan. Bila Anda ingin serius mendalami fotografi, saya sangat anjurkan Anda mempelajari tata cahaya. Ini adalah kunci ketiga untuk membuat foto bagus.
Bila Anda menguasai dua kunci penting yang telah kita bahas di atas, dijamin Anda akan bisa membuat foto yang bagus. Kemudian, kuasailah tata cahaya, agar foto Anda makin luar biasa. Percayalah!
Pesan Penutup
Kamera secanggih dan semodern apa pun, hanya dapat menghasilkan foto yang terlihat bagus secara teknis, dan memudahkan si fotografer dalam proses berkarya.
Namun, sebuah foto yang berhasil dan efektif mengomunikasikan isi kepala fotografer kepada khalayak pemirsa, tidak lepas dari gagasan dan pemikiran si fotografer, orang di balik kamera itu.
Artikel lanjutan → Jangan Asal Jepret, Yuk Bikin Fotomu Bercerita!
(Ditulis oleh Iwan Santosa)
ilustrasi foto atas: “Strawberries” (© Iwan Santosa)
CATATAN PENULIS:
1) Tulisan ini dibuat untuk tujuan edukasi. Anda diperkenankan membagikan dan mengutip sebagian isi artikel ini dengan menyertakan identitas penulis dan tautan sumber (contoh: Iwan Santosa, “Cara Membuat Foto Bagus, Kuasai Dua Kuncinya”); 2) Seluruh foto dalam artikel ini adalah hak cipta milik masing-masing fotografer. Anda diperkenankan menggunakannya untuk keperluan edukasi, dengan menyertakan identitas fotografer, judul foto, dan tautan sumber (contoh: Foto “Strawberries” oleh Iwan Santosa; atau “Pantai Natsepa” © Iwan Santosa).
Tips yang kerenn. Kunjungi https://unair.ac.id/