MIPR dan AMIPR adalah gelar dalam profesi kehumasan. Kepanjangannya adalah Member of Indonesia Public Relations (MIPR), dan Associate Member of Indonesia Public Relations (AMIPR).
Terdengar asing?
Wajar bila Anda tidak familier atau baru pertama kali mendengarnya. Kedua gelar ini memang tidak seumum gelar akademik seperti sarjana atau magister, juga gelar profesi dokter atau psikolog.
Gelar MIPR dan AMIPR adalah gelar nonakademik. Statusnya mungkin mirip dengan gelar IAI yang tersemat di belakang nama seorang arsitek. Mirip juga dengan beberapa gelar nonakademik lain yang dikeluarkan oleh organisasi profesi nasional.
Gelar IAI ditetapkan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), sedangkan MIPR dan AMIPR ditetapkan oleh Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas). Keduanya merupakan organisasi profesi resmi di Indonesia, masing-masing membidangi profesi arsitek dan profesi hubungan masyarakat.
Perbandingan ini sekadar memberikan gambaran sekilas saja mengenai gelar nonakademik yang diterbitkan oleh organisasi profesi, berbeda dengan gelar akademik yang diterbitkan oleh institusi pendidikan tinggi. Masing-masing organisasi punya mekanisme tertentu yang tidak dapat dibandingkan langsung apple to apple.
Baca juga → Koran Republika dan Tabloid Nova Menghilang, Senja Kala Semakin Kelam
MIPR dan AMIPR, Gelar untuk Siapa?
PR dalam MIPR dan AMIPR adalah singkatan dari Public Relations. Jadi, gelar ini pastinya diberikan kepada orang-orang dari dunia hubungan masyarakat alias humas.
Lebih spesifik, MIPR dan AMIPR adalah gelar akreditasi profesi. Dengan demikian, tidak semua pelaku humas dapat dengan mudah memperoleh gelar ini.
Perhumas menetapkan standar kualifikasi dan kriteria yang harus dipenuhi oleh praktisi humas untuk dapat memperoleh gelar MIPR atau AMIPR.
Salah satu syarat untuk mendapatkan gelar AMIPR adalah pengalaman profesi humas selama tiga hingga lima tahun, sedangkan syarat gelar MIPR adalah pengalaman lebih dari tujuh tahun, dan menduduki posisi senior pada perusahaan atau institusi yang kredibel.
Tidak hanya berdasarkan pengalaman saja, praktisi humas pemohon akreditasi juga harus memiliki kompetensi dan kemampuan kehumasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengalaman dan kompetensi itu harus bisa dibuktikan di hadapan para panelis yang menjadi asesor atau dewan penguji saat dilakukan asesmen.
Selain MIPR dan AMIPR, Perhumas juga menerbitkan gelar IAPR (Indonesia Accredited Public Relations) dan FIPR (Fellow Indonesia Public Relations). Kedua gelar ini diberikan kepada tokoh humas berpengalaman lebih dari sepuluh dan dua puluh tahun, dengan kriteria khusus.
Baca juga → Tulisan Ditolak Media, Pasti Ini Sebabnya
Di Balik Proses Asesmen Akreditasi
Sepengetahuan saya, yang namanya akreditasi selalu melibatkan proses asesmen. Seperti halnya akreditasi institusi oleh BAN (Badan Akreditasi Nasional) atau asesmen akreditasi internasional ISO – saya pernah terlibat mengurus kedua jenis akreditasi itu.
Konsep dasar dari asesmen akreditasi adalah penilaian kelayakan untuk mendapatkan pengakuan atas kelayakan itu berdasarkan kualifikasi atau standar tertentu, baik nasional ataupun internasional.
Dalam hal profesi humas di Indonesia, kualifikasi itu ditetapkan oleh Perhumas merujuk pada standar internasional. Perhumas sebagai lembaga nasional juga merupakan anggota organisasi humas internasional, sehingga akreditasi Perhumas tidak hanya diakui secara nasional, tetapi juga internasional.
Sidang Ujian yang Bikin Grogi
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, proses penilaian atau asesmen akreditasi selalu membuat sibuk institusi yang sedang dinilai. Ada banyak sekali dokumen yang perlu disiapkan untuk mendukung pernyataan-pernyataan yang diungkapkan dalam instrumen pengujian kelayakan.
Demikian juga yang saya alami saat mengikuti akreditasi Perhumas belum lama berselang. Persiapan saya meliputi pengumpulan bukti-bukti – dalam jargon akreditasi institusi biasa disebut evidence – atas pengalaman saya dalam bidang kehumasan selama ini.
Bukan hal yang sepele, mengumpulkan track record beserta sampel-sampel produk kehumasan bertahun-tahun, lalu mengompresnya dalam satu paparan ringkas, dan menyajikannya di hadapan para asesor dalam waktu hanya sepuluh menit. Persiapan dan presentasi ini pun sudah terasa seperti ujian yang sangat aktual.
Kegrogian saya pun naik level ketika pada hari-H langsung berhadapan dengan para panelis yang terdiri dari orang-orang hebat dunia kehumasan. Mereka adalah praktisi kelas kakap sekaligus akademisi. Sedemikian seriusnya, semuanya bergelar doktor. Hari itu langsung mengingatkan saya dengan sidang magister, tak kalah serunya.
Baca juga → Passion Kuliah Tak Sesuai Pilihan Ortu, Jebung dan Sophie Navita Beberkan Cara Mengatasinya
Apa Pentingnya Punya Gelar MIPR atau AMIPR?
Setelah mengenal sekilas mengenai MIPR dan AMIPR, pertanyaan pentingnya adalah: apa pentingnya punya gelar tersebut?
Jawaban paling singkatnya: menambah panjang deretan gelar di belakang nama. Just kidding, hanya bercanda. Bukan itu tujuannya!
Memang betul bahwa praktisi humas yang telah berhasil menyelesaikan proses akreditasi berhak menyandang titel MIPR atau AMIPR di belakang namanya. Namun, penyematan titel itu sesungguhnya bukan bertujuan pamer gelar panjang.
Pencantuman gelar MIPR atau AMIPR menandakan bahwa pemilik gelar tersebut adalah seorang praktisi humas yang kredibel, telah diakui sebagai accredited public relations. Artinya, Perhumas sebagai organisasi profesi humas nasional telah memberikan pengakuan atas kompetensi dan kredibilitasnya berdasarkan standar profesionalisme dan etika profesi kehumasan.
Manfaat Akreditasi Profesi Humas untuk Institusi
Gelar akreditasi MIPR dan AMIPR yang disandang oleh seorang praktisi humas juga berguna bagi perusahaan atau institusi tempatnya bekerja. Perusahaan dapat lebih yakin bahwa urusan kehumasan di perusahaan itu ditangani oleh staf atau praktisi humas yang profesional dan kredibel.
Lebih dari itu, pengalaman pengelolaan kehumasan yang menjadi poin utama penilaian saat dilakukan asesmen, sekaligus menjadi sarana benchmarking terhadap kinerja kehumasan perusahaan yang ditangani oleh staf tersebut.
Manfaat benchmarking itu saya rasakan langsung saat sesi diskusi asesmen. Para panelis menyidik dan menilai apa-apa yang sudah saya lakukan selama ini dalam mengelola strategi dan program-program kehumasan di tempat saya bekerja.
Mereka memberi apresiasi terhadap beberapa hal yang sudah dijalankan dengan baik, juga mengkritik hal-hal yang dinilai masih lemah. Interaksi ini sangat berguna bagi saya untuk dapat mengevaluasi dan melihat seberapa baik pengelolaan kehumasan yang telah saya terapkan selama ini.
Baca juga → Balada Baliho Menuju Senayan, Strategi Seleb Lebih Manjur
Profesionalisme yang Bervisi Besar
Satu hal lagi yang menjadi sangat penting bagi seorang profesional humas terakreditasi adalah mengenai profesionalisme, etika, dan integritas yang harus dijunjung tinggi.
Setiap praktisi humas terakreditasi telah menandatangani pakta integritas yang mengikatnya untuk bertindak secara profesional, menjunjung tinggi etika dan integritas profesi humas.
Profesionalisme, etika, dan integritas seorang praktisi humas terakreditasi tidak hanya berlaku untuk mendukung pengembangan citra dalam ruang lingkup terbatas di institusi tempatnya bekerja saja.
Seorang profesional humas terakreditasi juga menjadi bagian dari komunitas humas nasional yang mengusung visi yang lebih besar, yaitu mendukung pengembangan citra positif serta reputasi bangsa Indonesia.
(Iwan Santosa)
Acknowledgments — Penulis mengucapkan terima kasih kepada: Kandi Windoe; Glory Oyong; Benny S. Butarbutar, M.Si., IAPR; Dr. N. Nurlaela Arief, M.B.A., IAPR; Dr. Mulharnetti Syas, M.S., IAPR; Dr. Hifni Alifahmi, M.Si., IAPR; Dr. Nia Sarinastiti, M.A., IAPR; Anggia Bahana Putri; dan Addin Nur Islam atas bimbingan, diskusi, dan motivasi yang diberikan selama mengikuti proses akreditasi.
foto atas: Logo Perhumas – member of the Global Alliance
editor: MA