Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah diterapkan selama lebih dari satu tahun, sebagai dampak dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Pertama kali PJJ diterapkan sekitar Maret 2020, para pelaku dunia pendidikan dihadapkan pada kondisi “shock” karena harus melakukan perubahan budaya belajar-mengajar secara drastis.
Partisipasi siswa dalam aktivitas belajar selama PJJ pun mengalami penurunan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Research on Improving System of Education (RICE) dan Kemendikbudristek tahun 2021 menyebutkan bahwa tren penurunan ini terjadi pada seluruh jenjang pendidikan mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai jenjang perguruan tinggi.
Tingkat partisipasi yang menurun tersebut menjadi kendala besar dalam pemenuhan capaian pembelajaran Kurikulum 2013 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, dan Kurikulum KKNI untuk jenjang pendidikan tinggi. Kedua kurikulum ini menuntut siswa dan mahasiswa untuk aktif berpartisipasi saat belajar, mandiri, berinisiatif tinggi, dan kreatif dalam menyelesaikan tugas dan memahami pelajaran, bukan hanya sekadar “menerima” pelajaran secara pasif.
98,5% Siswa Mengalami Rintangan Akademik
Dr. Meilani Rohinsa, M.Psi., Psikolog, Staf Ahli di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Perbukuan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan mengungkapkan data hasil penelitian terhadap 1.352 siswa kota Bandung. Menurut penelitian tersebut, terdapat 53,49% siswa menunjukkan engagement rendah, dan sebanyak 46,51% siswa memiliki engagement tinggi (Rohinsa, Cahyadi, Djunaidi & Iskandar, 2020).
Tingkat engagement menunjukkan partisipasi aktif siswa dalam aktivitas belajar yang disertai dengan emosi yang positif (Skinner & Belmont, 1993). Data hasil penelitian tersebut menggambarkan baru sebagian siswa saja yang menunjukkan usaha terbaiknya dalam belajar dan menikmati aktivitas belajarnya. Penurunan partisipasi siswa dalam aktivitas belajar, terutama disebabkan siswa mengalami tuntutan akademik yang berat pada jenjang pendidikan yang sedang ditempuhnya (Wang & Eccles, 2012).
Beratnya beban siswa saat menjalankan kegiatan belajar selama PJJ juga tergambarkan dalam hasil survei yang dilakukan oleh KPAI, 13-21 April 2020. Sebanyak 79,9% dari 1.700 siswa di Indonesia menghayati bahwa mereka mengalami tekanan saat menjalankan PJJ. Sementara itu dalam penelitian yang dilakukan oleh Rohinsa dkk. didapatkan data sebanyak 98,5% dari 1.352 siswa di Kota Bandung menghayati mengalami rintangan akademik saat belajar.
Daily Hassles vs Academic Buoyancy
Dalam penelitian tersebut, yang dimaksud dengan rintangan akademik adalah masalah-masalah dalam bidang akademik yang sifatnya ringan tetapi dihadapi secara rutin oleh para siswa. Rintangan semacam ini dapat diistilahkan daily hassles, misalnya adalah tugas yang banyak dan waktu mengerjakan yang terbatas, sulit memahami pelajaran, dan kebosanan dalam belajar.

Rohinsa dalam orasinya di kampus Universitas Kristen Maranatha, 15 September 2021 mengatakan, “Meskipun rintangan akademik ini ringan dan sifatnya berupa masalah sehari-hari, tetapi siswa tetap harus mampu mengatasinya agar tidak berkembang menjadi masalah akademik yang besar.” Rohinsa yang juga seorang dosen di Fakultas Psikologi UK Maranatha kemudian menyebutkan bahwa seluruh siswa perlu memiliki kemampuan untuk mengatasi rintangan akademik, atau yang diistilahkan dengan academic buoyancy (Martin & Marsh, 2006).
Dalam penelitiannya, Rohinsa dkk. menemukan hanya 58,84% siswa yang memiliki academic buoyancy tinggi, dan sisanya sebanyak 41,57% siswa memiliki kemampuan mengatasi rintangan akademik yang rendah. Padahal, academic buoyancy yang tinggi perlu dimiliki seorang siswa agar dapat menunjukkan perilaku yang aktif, kreatif, dan mandiri.
Hal ini berhubungan dengan pemenuhan tiga kebutuhan psikologis dasar seorang siswa, yaitu 1) kebutuhan merasa dirinya mampu atau need of competence, 2) kebutuhan merasa dirinya tidak terpaksa dalam melakukan sesuatu atau need of autonomy, dan 3) kebutuhan diterima oleh lingkungannya atau need of relatedness.
Apabila lingkungan memberikan ketiga bentuk dukungan tersebut secara selaras dan konsisten maka siswa akan memiliki pandangan bahwa 1) dirinya mampu atau sense of competence, 2) dirinya tidak terpaksa atau sense of autonomy, dan 3) dirinya diterima atau dihargai atau sense of relatedness.
Ketiga bentuk dukungan tersebut perlu diberikan oleh lingkungan seorang siswa, dalam hal ini adalah dari orang tua dan guru atau pendidik.
Pentingnya Dukungan Orang Tua dan Pendidik
Dukungan yang diberikan oleh orang tua dan guru secara selaras dan konsisten terbukti dapat memperkuat persepsi diri siswa bahwa dirinya mampu atau memiliki sense of competence, tidak terpaksa atau memiliki sense of autonomy, dan dihargai atau memiliki sense of relatedness. Kemudian, dengan memiliki sense of competence maka pada saat siswa menghadapi rintangan akademik, ia yakin memiliki kemampuan untuk mengatasinya.
Adanya sense of autonomy atau perasaan tidak terpaksa, akan membuat siswa lebih bertanggung jawab dan berusaha mencari cara yang terbaik pada saat mereka dihadapkan pada rintangan akademik. Seorang siswa yang memiliki sense of relatedness atau perasaan diterima oleh lingkungannya, akan memiliki perasaan aman dan lebih percaya diri untuk mengeksplorasi berbagai cara yang tepat untuk mengatasi rintangan akademik yang dihadapinya.

Ketiga pandangan diri ini akan sangat mendukung dan meningkatkan kemampuan siswa dalam menghadapi rintangan akademik. Selanjutnya, siswa akan lebih merasa nyaman dan senang dalam belajar sehingga terdorong untuk menunjukkan perilaku yang aktif, kreatif, dan mandiri.
Hal tersebut diungkapkan Meilani Rohinsa dalam orasi ilmiah dies natalis ke-56 UK Maranatha berjudul “Dukungan Orang Tua dan Pendidik dalam Meningkatkan Kemampuan Mengatasi Rintangan Akademik dan Membentuk Siswa yang Aktif, Kreatif, dan Mandiri dalam Belajar.”
Pola Pengajaran Ideal
Kebutuhan siswa akan dukungan dari orang tua dan pendidik berbeda-beda pada setiap jenjang pendidikannya.
Semakin meningkat usia siswa dan semakin tinggi tingkat pendidikan siswa, maka akan semakin meningkat kebutuhan mereka akan kepercayaan dan kesempatan dari orang tua dan gurunya (autonomy support), dan semakin berkurang kebutuhan mereka akan panduan dan arahan (structure), dan bantuan dan perhatian (involvement) dari orang tua dan pendidiknya.

Rohinsa menyebutkan bahwa pola pengasuhan dan pengajaran yang ideal tersebut sejalan dengan falsafah pendidikan Indonesia yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Ing ngarsa sung tuladha artinya sebagai pendidik, baik guru, dosen, maupun orang tua, harus berada di depan siswa untuk memberikan teladan. Tentunya dengan memberikan contoh, arahan, panduan, batasan, dan aturan agar siswa tidak salah melangkah. Hal ini merupakan bentuk nyata dari structure yang dapat diberikan oleh pendidik dan orang tua.
Ing madya mangun karsa dapat diartikan bahwa orang tua dan pendidik mengambil posisi di tengah-tengah anak atau siswa dengan membangun semangat, memberikannya kepercayaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Hal ini merupakan bentuk nyata dari autonomy support.
Tut wuri handayani berarti kita mendukung siswa dari belakang, dengan memberikan dorongan semangat, perhatian, empati, juga support emosional. Hal ini merupakan bentuk nyata dari involvement yang dapat diberikan oleh pendidik dan orang tua.
Meilani Rohinsa menyimpulkan, bila kita sebagai pendidik dan orang tua dapat bergandengan tangan untuk memberikan autonomy support, structure, dan involvement secara konsisten sebagai wujud dari falsafah pendidikan Indonesia, maka hal ini akan membentuk siswa yang tangguh menghadapi rintangan akademik. Akhirnya, mereka akan menujukkan perilaku yang aktif, kreatif dan mandiri dalam belajar.
(@infokampus)
Baca topik lainnya tentang dunia pendidikan → Seputar Kampus
Pendidikan tidak semata-mata tentang sekolah, peran orang tua juga sangat diperlukan di kondisi apapun. Kunjungi https://unair.ac.id/